TAFSIR BI Al-MA’TSUR
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran dari kenabian Muhammad SAW, selain
menjadi bukti kebenaran al-Qur’an juga merupakan petunjuk dan juga sebagai
jalan hidup bagi umat manusia. Al-Qur’an memiliki berbagai macam keistimewaan,
dan diantaranya adalah dari segi kebahasaannya dan megandung makna-makna yang
begitu mendalam.
Pemahaman terhadap redaksi-redaksi dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut
banyak tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti. Disinilah dibutuhkan
penjelasan dari pemilik redaksi tersebut. Kemudian apabila dalam al-Qur’an
sendiri tidak terdapat penjelasannya, maka dibutuhkanlah penjelasan dari sosok
yang menjadi tempat penurunan ayat tersebut yaitu Nabi Muhamad SAW.
Apabila dari sumber kedua ini juga tidak terdapat penjelasan ayat-ayat
tersebut maka sangat dibutuhkan keterangan dari para sahabat, karena merekalah
orang-orang yang dekat dengan Rasul, yang mengetahui ayat-ayat al-Qur’an itu
sendiri baik dari segi turunnya maupun penjelasan-penjelasan yang telah diberikan
Rasul kepada mereka. Apabila sumber ketiga ini juga tidak ditemukan
penjelasan-penjelasan al-Qur’an tersebut maka penjelasan para tabi’in lah yang menjadi pedoman. Dan
kemudian penafsiran-penafsiran dari berbagai sumber yang telah disebutkan
diatas kemudian dikenal dengan nama tafsir
bi al-ma’tsur.
Namun demikian sumber yang terakhir ini masih menjadi perdebatan para
ulama apakah termasuk kedalam tafsir bi
al-ma’tsur atau tidak, karena para tabi’in
ini tidak berjumpa langsung dengan Rasul, karena mereka hanya berjumpa dengan
para sahabat Rasul.
Untuk mengkaji tentang tafsir bi
al-ma’tsur itu sendiri, di makalah ini akan coba untuk menjelaskan tentang
pengertian tafsir dan ta’wil, tafsir bi al-ma’tsur dan ragam bentuk penafsirannya, dan nilai tafsir bi al-ma’tsur menurut pandangan
para ulama yang kemudian disertai dengan alasan-alasannya.
B.
Pengertian Tafsir dan Ta’wil
Kata
tafsir secara
etimologi diambil dari kata
فسر- يفسر- تفسرا berarti
الايضاح والبيان yang
berarti penjelasan dan keterangan, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat Al-Furqan; 33
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا
جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya”
Sementara itu
dari segi terminologi menurut Al-Zarqani :
عام يبحث فيه عن احوال
القران الكريم من حيث دلا لته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشريه
“ Ilmu yang di dalamnya
membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi petunjuk (dalalah)nya kepada yang
dikehendaki Allah dari sekedar yang kemampuan manusia”.
Menurut
Az-Zarkasyi :
علم يفهم به كتاب الله المنزل على
النبيه محمد صلعم وبيان معانيه واستحزاج احكامه وحكمه
“Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW dan menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan
kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
Menurut Ibnu Hayyan tafsir adalah:
علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن
ومدلولا تها وأحكامها الافرادية والتركيبية ومعانيها التى تحمل عليها حالة التركيب
“Ilmu membahas mengenai cara
pengucapan kata-kata al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk
(dalil-dalilnya), kandungan-kandungan hukum yang tersendiri (terpisah) dan yang tersusun serta
makna-maknanya yang terkandung atasnya secara tersusun baik.
Jadi tafsir adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil Al-Qur’an dan
makna-maknanya sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT, menurut ukuran
kemampuan manusia.
Sedangkan kata
ta’wil secara
etimologi barasal dari kata
أول- يأول- تأويلا ,yang berarti
الرجوع الى الاصل (kembali
ke asal). Sedangkan menurut terminologi As-Suyuti mendefenisikan
ta’wil adalah:
صرف الايه الى ما تحمله من المعانى
“Pemalingan ayat kepada apa yang terkandung dari dalamnya dari
makna-makna”.
Sedangkan ta’wil menurut mutaakhkhirin, fuqaha’, mutakallimin dan
muhadits dan para sufi sebagai
mana dinukilkan Ad-Dzahabi dalam At-tafsir
wa al-Mufassirun mengatakan:
صرف اللفظ عن المعنى الراجح إلى
المرجوح لدليل يقترن به
“Ta’wil adalah pemalingan lafazh dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh karena dalil yang sebanding
dengannya”.
Sementara menurut kalangan salaf mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara
tafsir dan ta’wil, mereka mengatakan bahwa kata-kata tafsir dalam kitab-kitab
tafsir nereka dengan kata-kata ta’wil
.
Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa ta’wil adalah memahami lafazh-lafazh Al-Qur’an meleui pemahaman
arti yang terkandung oleh lafazh tersebut, dengan kata lain, ta’wil berarti
mengartikan lafazh dengan beberapa alternative kandungan makna yang bukan
merupakan makna lahirnya.
Berdasarkan pembahasan tentang makna tafsir
dan ta’wil, dan untuk mempermudah
pemahaman tentang keduanya, disini akan diuraikan perbedaan antara tafsir dan ta’wil:
- Tafsir
lebih umum dari ta’wil, kebanyakan
penggunaan tafsir pada
lafazh-lafazhnya, dan sementara ta’wil
kebanyakan penggunaannya pada makna-maknanya.
- Tafsir
menerangkan lafazh melalui jalan riwayah,
sedangkan ta’wil menerangkan
lafazh melaui dengan jalan dirayah. Dengan kata lain, tafsir menerangkan makna yang tersurat sedangkan ta’wil menerangkan makna yang
tersirat.
- Tafsir
menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti,
sementara ta’wil menetapkan
makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna
karena didukung oleh dalil.
- Tafsir
adalah apa yang telah dijelaskan di dalam kitabullah atau tertentu (pasti)
dalam sunnah yang shahih karena
maknanya telah jelas dan gamblang. Sedangkan ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu
sebagian ulama mengatakan, “tafsir
adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan diwayah”.
C.
Ragam Bentuk
Penafsiran Bi al- Ma’tsur
Secara umum ada dua model dalam penafsiran al-Qur’an yaitu
tafsir bi al-ma’tsur dan
tafsir bi
al-ra’yi. Masa penafsiran
bi
al-ma’tsur merupakan periode pertama dari perkembangan
tafsir. Berlakunya periode ini sampai berakhirnya masa
tabi’in, sekitar tahun 150 H
,
yang kemudian pada tahun 150 H mulailah bermunculan
tafsir-tafsir bi al-ra’yi.
Dari segi pendefenisian menurut Al-Dzahabi tafsir bi al-ma’tsur adalah:
ما جاء فى القران نفسه من البيان
والتفصيل لبعض آياته, وما نقل عن الرسول صلعم وما نقل عن الصحابة رضوان الله
عليهم, وما نقل عن التابعين, من كل ما هو بيان وتوضيح لمراد الله تعالى من نصوص
كتابه الكريم
“Apa yang datang pada al-Qur’an dengan sendirinya dari penjelasan dan
uraian dengan sebahagian ayatnya, dan apa yang dinukilkan dari Rasul SAW dan
apa yang dinukilkan dari para shahabat keridhaan Allah SWT terhadap mereka, dan
apa yang dinukilkan dari tabi’in,
dari tiap-tiap sesuatu yang dianya merupakan penerangan dan penjelasan kepada
maksud Allah SWT dari nash-nash kitab-Nya yang mulia.
Dari defenisi ini, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk penafsiran bi
al-ma’tsur dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
- Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
- Penafsiran al-Qur’an dengan hadits
- Penafsiran al-Qur’an dengan perkataan shahabat, dan
- Penafsiran al-Qur’an dengan perkatan tabi’in.
1. Penafsiran
al-Qur’an dengan al-Qur’an
Pada prinsipnya ayat-ayat al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak
dapat dipisahkan, ia bagai mata rantai yang saling berkaitan antara satu dan
yang lainnya, yang saling menjelaskan antara yang satu dengan yang lainnya (intertekstualitas). Penafsiran Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an adalah bentuk tafsir yang paling tertinggi. Keduanya tidak
diragukan lagi dalam penerimaannya. Hal ini karena Allah SWT adalah sumber
berita yang paling benar yang kemudian menjelaskannya, yang tidak mungkin
tercampur perkara batil darinya.
Penjelasan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ini dapat dilihat pada surat al-Maidah ; 3 yang
berbunyi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
لِغَيْرِ
اللّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah”.
Yang mana ayat ini memberitahukan
bahwa salah satu yang termasuk yang diharamkan oleh Allah SWT ialah darah.
Kata-kata darah dalam ayat ini tidak menunjukkan jenis dan kadar darah tersebut.
Dengan kata lain, bahwa darah apa sajapun termasuk kedalam kelompok yang
diharamkan oleh Allah AWT baik sedikit maupun banyak.
Akan tetapi bila kita lihat pernyataan ayat lain yaitu surat al-An’am
ayat 145 menjelaskan bahwa ada darah yang diharamkan oleh Allah SWT yaitu darah
yang mengalir sebagaimana firmannya:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ
إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلاَّ أَن
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Atau dalam surat
Al-Hajj; 30:
..وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ
إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا
الرِّجْسَ
مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Kata (إلا
ما يتلى عليكم) ditafsirkan
dengan surat
al-maidah; 3:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah”.
2. Penafsiran
al-Qur’an dengan Hadits
Sebagaimana diketahui bahwa Hadits merupakan sebagai
bayan (penjelas) dari Al-Qur’an itu sendiri, sehingga Hadits
merupakan penjelas penguat, perinci, pembatas bahkan penambah dari Al-Qur’an itu
sendiri. Tapi yang menjadi persoalan adalah jika Al-Qur’an yang
qath’iy al-tsubut itu dihadapkan dengan
hadits yang
zhanny al-wurud
bertentangan dengan Al-Qur’an itu sendiri. Inilah yang kemudian menjadi
permasalahan tentang penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits, tentang segi
keshahihan dari hadits itu sendiri.
Penafsiran ini dapat dilihat pada surat
Al-An’am; 82
الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ
إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ
الأَمْنُ
وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk”
Nabi SAW menafsirkan lafazh الظلم dengan الشرك
Dengan demikian, penjelasan-penjelasan Nabi Muhamad SAW, tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat al-Qur’an. Beliau adalah
satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan al-Qur’an,
penjelasan beliau dapat dipastikan kebenarannya karena beliaulah yang langsung
menerima ayat tersebut dan diberi keleluasaan untuk menjelaskannya.
Penafsiran al-Qur’an dengan hadits dapat dilihat bagaimana Nabi
menafsirkan kata
َزِيَادَة dalam Surat yunus; 26, dengan melihat wajah
Allah Ta’ala, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim,
secara jelas dari hadits Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab ibn Ujrah, dan dalam
Shahih Muslim barkata; “maka
disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka
cintai, dari pada melihat Rabb mereka
Azza
Wa Jalla”
,
kemudian beliau membaca surat Yunus; 26:
لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى
وَزِيَادَةٌ وَلاَ يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ
وَلاَ ذِلَّةٌ
أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya . Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan . Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya”.
3. Penafsiran
al-Qur’an dengan perkataan shahabat
Apabila penafsiran dengan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan dengan hadits
nabi tidak ditemui, maka dapat dengan melihat kepada perkataan para sahabat,
karena merekalah yang lebih tau tentang tentang maksud ayat, hal ini disebabkan
rasul sering menjelaskan kepada mereka tentang kandungan yang terdapat dalam
al-Qur’an itu sendiri.
Para masa shahabat menerima dan
meriwayatkan
tafsir dari nabi adalah
secara
musyafahat artinya dari mulut
ke mulut. Demikian pula generasi berikutnya hingga sampai datang masa
tadwin (pembukuan) akan ilmu-ilmu Islam,
termasuk pembukuan kitab-kitab
tafsir yang
terjadi sekitar abad 3 H. cara penafsiran serupa inilah yang menjadi cikal
bakal apa yang disebut dengan
tafsir bil
ma’tsur atau disebut juga dengan
tafsir
bil riwayah.
Dengan demikian para shahabat umumnya dapat menafsirkan al-Qur’an . namun
yang paling menonjol diantara mereka ada 10 (sepuluh) orang yaitu: Abu Bakar
Shiddiq, Umar ibn Khaththab, Utsman ibn ‘Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Abu Musa al-Asy’ari
juga Abdullah bin al-Zubair.
Contoh ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh sahabat, sebagaimana yang
diceritakan bahwa Umar bin Khaththab pada suatu hari barkata kepada para
sahabat Nabi SAW, “pada siapa kalian ayat ini diturunkan, kemudian Umar
membacakan surat
Al-Baqarah 266
uqtr& öNà2ßtnr& br& cqä3s? ¼çms9 ×p¨Yy_ `ÏiB 9@ϯR 5>$oYôãr&ur Ìôfs? `ÏB $ygÏFóss? ã»yg÷RF{$#
“Apa sukakah seseorang diantara kamu mempunyai sebidang kebun kurma dan
anggur yangmengalir dibawahnya sungai-sungai”.
Para sahabat menjawab:”Allah lebih
mengetahui”. Maka Umar marah, seraya berkata:”katakan’aku tahu’ atau ‘tidak
tahu’”. Kemudian Ibnu Abbas berkata dengan tenang tentang ayat itu. Lalu Umar
berkata:”wahai putra saudaraku,berkatalah! Jangan kamu menghinakan dirimu”.
Ibnu Abbas berkata:”ayat itu mengetengahkan contoh suatu amal”. Umar bertanya:
“amal apa?”. Ibnu Abbas menjawab:”sungguh seorang lelaki berlaku taat kepada
Allah, lalu ia dipermainkan setan, sehingga ia melakukan kemaksiatan dan
amal-amalnya menjadi tenggelam.
Namun demikian menurut sebahagian ulama tidak wajib mengambil tafsir dari
sahabat karena menurut mereka para sahabat juga berijtihad dalam penafsirannya,
dan seorang mujtahid bisa saja salah, dan sahabat dalam berijtihad sama saja
seperti mujtahid pada umumnya.
4. Penafsiran
al-Qur’an dengan perkataan Tabi’in
Adapun tafsir para tabi’in ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Sebahagian ulama berpendapat bahwa tafsir itu termasuk kedalam ma’tsur.
Karena mereka berjumpa langsung dengan para sahabat yang lebih tahu akan
turunnya ayat dan maksud-maksud ayat yan dijelaskan oleh Rasul sendiri.
Ada pula
yang berpendapat bahwa tafsir dari para
tabi’in
sama saja dengan
tafsir bi al-ra’yi.
Artinya para
tabi’in itu mempunyai
kedudukan yang sama dengan para
mufassirun
yang menafsirkan al-Qur’an dengan berdasarkan kaidah bahasa.
dengan
kata lain, terkadang merekapun melakukan
ijtihad
dan memberi
interpretasi terhadap
Al-Qur’an
.
Al-Rumy tidak memasukkan kelompok Tabi’in dalam penjelasannya. Tidak
dimasukkannya kelompok tabi’in bisa diprediksikan bahwa pendapat para tabi’in paling
tidak menurut Al-Rumy tidak layak dijadika referensi dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode
tafsir
bi al-ma’tsur.
Kelompok tabi’in yang memberikan sumbangan besar dalam penafsiran
Al-Qur’an terbagi menjadi tiga, yaitu kelompok Makkah, kelompok Madinah dan
kelompok Iraq,
hal ini disebabkan sudah semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam.
Dikalangan tabi’in kelompok Makkah yang merupakan tokoh-tokoh besar dalam
bidang tafsir seperti: Mujshid, Atha’, Ikrimah, Thawus, dan Sa’ad bin Jabir. Di
kalangan kelompok Madinah adalah Muhammad bin Ka’ab al-Qardhiyyi, Abu
al-‘Aliyah al-Riyahi, dan Zaid bin Aslam. Sementara kelompok ahli tafsir di
Irak ada Hasan Bashri, Masruq bin al-Ajda’, Qatadah bin Du’amah, Atha’ bin Abi
Muslim al-Khurasani, dan Murrah al-Hamdzani.
Penafsiran tabi’in dapat dilihat bagaimana Mujahid menafsirkan surat al-qiyamah: 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah
mereka melihat”.
Mujahid berkata bahwa orang mukmin menunggu balasan/pahala dari Tuhannya,
dan dia tidak melihat dari sesuatu mankhlukpun.
D.
Pandangan
Ulama Tentang Nilai Tafsir bi al-Ma’tsur
dan Alasannya.
Imam Az-Zarqani dalam mengetengahkan uraian yang amat bagus sekitar soal tafsir bil ma’tsur, beliau menyebutkan
pula beberapa pendapat yang dinukilkan dari imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu
Taimiyah. Uraian yang paling tepat bahwa tafsir
bi al-ma’tsur ada dua macam:
Pertama, penafsiran yang didukung oleh banyak dalil yang menunjukkan
keshahihannya dan bisa diterima. Ini tidak patut bagi seorangpun untuk
menolaknya, bahwa tidak boleh menyepelekannya dan melalaikannya. Tidak
seyogyanya kita meragukan pertunjuk al-Qur’an. Akan tetapi justru ia merupakan
alasan yang paling kuat untuk mengambil petunjuk al-Qur’an.
Kedua, penafsiran yang sama sekali tidak sah disebabkan oleh hal-hal
tertentu yang melemahkannya dan ini wajib ditolak, tidak boleh menerima atau
mengamalkannya. Para ahli tafsir yang jeli, seperti Ibnu Katsir tidak henti-hentinya meneliti
keshahihan pendapat yang mereka nuqilkan, dan kemudian menganggapnya penafsiran
yang batil dan dha’if.
Menurut kenyataan banyak diantara riwayat yang disandarkan kepada Ibnu
Abbas dan Ali dan juga kepada yang lainnya adalah maudhu’. Hal ini bisa
disebabkan dengan barbagai alasan, seperti ketika yang menukilkan hadits
tersebut orang
Syi’ah, maka
pengikutnya dengan berbagai kepentingan mewadha’kan hadits tersebut atas nama
beliau. Begitu juga dengan Ibnu Abbas yang merupakan kakek dari
Khulafa Abbasiyyin, maka ahli
wadha’ (pembuat hadits palsu) yang ingin
mendekatkan diri kepada
khulafa’ Abbasiyin
mewadha’kan hadits atas nama Ibnu Abbas.
Beberapa perawi yang menurut jumhur dapat dikatakan hadits yang baik
diantaranya hadits yang melalui Mu’awiyah ibn Shalih dari Ali ibn Abiu Thalhah
dari Abbas, atau riwayat Qais dari Atha’ ibn Said dari Sa’id ibn Zubair dari
Ibnu Abbas, dan sanad ini banyak diambil oleh al-Hakim, kemudian riwayat Ibn
Ishaq dari Muhammad ibn Abi Muhammad Maula, Zaid bin Tsabit dari Ibnu Abas yang
banyak diambil Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Abi Hakim.
Sementara itu ada juga dari para riwayat yang lemah yaitu dari hadits
yang diriwayatkan Zubair dari Ad-Dhahhak, Bakr Ibn Sahl al-Dimyati, Abu Rauq,
Ismail as-Saddy al-Kabir, Muqatil ibn Sulaiman (yang tertuduh
dha’if) dan yang lainnya.
Dengan ini nyatalah bahwa banyak jalan untuk menerima tafsir-tafsir yang dinukilkan kepada
sahabat-sahabat yang tidak shahih,
sehingga apabila ini masuk ke dalam tafsir
maka hal ini sudah mengada-ngadakan sesuatu yang belum pasti kebenarannya.
Sementara itu untuk tafsir yang
didapat dari para tabi’in terdapat
pertentangan menurut Ibn Taimiyah sepandai-pandai tabi’in dalam penafsiran adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas dan
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud dan ulama-ulama Madinah, seperti Zaid bin Aslam dan
Imam Malik bin Anas, Mujahid. Sehingga menurut beliau ulama seperti As-Syafi’I
dan Bukhari berpegang kepada hadits-hadits tersebut. Begitu juga dengan
An-Nawawi mengatakan apabila kamu telah mengetahui tafsir Mujaid cukuplah
bagimu tafsirnya itu.
Menurut Adz-Zahabi
tafsir bi
al-ma’tsur tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an maka yang demikian itu tidak
ada perbedaa pada penerimaannya, karena tidak ada jalan yang melemahkannya, dan
tidak ada syak kepadanya dari segi jalan penafsirannya. Sementara tafsir yang
di tafsirkan dengan hadit Nabi maka yang dapat melemahkannya adalah dari segi
jalan periwayatannya begitu juga sanadnya, nmaka tafsir itu ditolak, dan
selamanya tidak sah di nisbahkan kepada Nabi SAW.
Walaupun demikian masih menurut Adz-Zahabi
tafsir bi al-ma’tsur mempunyai kelemahan, yaitu banyak terjadi
pemalsuan dalam
tafsir sebagaimana
orang Syi’ah yang yang selalu menisbahkan suatu hadits terhadap ‘Ali bin Abi
Thalib dengan berbagai maksud dibaliknya, di anatara seabab pemalsuan itu
adalah panatisme mazhab dan politik, kemudian banyaknya masuk cerita-cerita
isra’iliyyat, dan banyaknya hilang
sanad-sanad.
Sementara menurut Quraisy Syihab mengatakan bahwa penafsiran Nabi dan
sahabat dapat dibagi dua kategori yaitu: la
majala li al-‘aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar)
seperti masalah metafisika dan perincian ibadah, dan fi majal al-‘aql (dalam wilayah akal).
Menurut beliau pada masalah yang bukan dalam wilayah nalar, apabila nilai
itu shahih, penafsiran itu dapat diterima apa adanya tanpa ada pengembangan.
Sementara yang dalam wilayah penalaran, walau penafsiran itu benar, penafsiran
itu harus didudukkan pada porsi yang tepat.
Adapun pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakan
termasuk bukan wilayah nalar, maka ia
fi
hukm al-marfu’ (bersumber dari Nabi Muhammad SAW), sehingga ia diterima
sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya
dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak.
Menurut pendapat ini, maka tidak merupakan suatu keharusan untuk menerima
tafsir bi al-ma’tsur yang
la fi al-aql walaupun penafsiran itu
dari Rasul.
Kemudian menurut Quraisy Syihab dalam tafsir bi al-ma’tsur sering konteks
turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi keseluruhan turunnya ayat-ayat
hukum yang dipahami dari uaraian nasikh/ mansukh) hamper dapat dikatakan
terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam
satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
kemudian pesan pokok tidak jelas hal ini disebabkan terjerumusnya sang mufassir
kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele
,
hal seperti ini dapat dilihat jenis-jenis perbedaan tafsir bi al-ma’tsur dari
segi lafazh dan maknanya:
1.
Perbedaan dalam lafazh tapi maknanya tidak berbeda,
perbedaan tersebut tidak berpengaruh terhadap makna ayat, hal ini dapat dilihat
dalam surat
al-isra’ : 23
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ
إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً
إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً
كَرِيماً
“Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “ah” dan janganlah kamu membentak
mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.
Ibnu Abbas berkata bahwa maksud قضى dalam surat tersebut adalah
memerintahkan, sementara Mujahid berkata maksud dari kata قضى adalah وصى yang berarti wasiat, sementara itu Arabi’ bin Anas berkata; maksud dari kata قضى tersebut
adalah اقضي yang
berarti mewajibkan. Semua tafsiran ini maknanya adalah sama, jadi perbedaan ini
tidak mempengaruhi makna ayat.
2.
Perbedaan dalam lafazh makna dan lafaz, tetapi ayat
tersebut dapat ditafsirkan dengan dua makna, tanpa ada kontradiksi antara
keduanya, jadi ayat tersebut dapat dimaknai dan ditafsirkan dengan keduanya.
Perbedaan ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-a’raf 175-176
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ
آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا
فَأَتْبَعَهُ
الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا
وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ
وَاتَّبَعَ
هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ
كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ
الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan
bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya
ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri
dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda),
maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan
jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berfikir
Menurut Ibn Mas’ud yang dimaksudkan pada ayat ini adalah seorang
laki-laki dari bani Israil, sementara Ibnu Abbas mengatakan bahwa dia adalah
seorang laki-laki dari penduduk Yaman. Dan keduanya dikonpromikan bahwa ayat
tersebut bisa dimaknai dengan semua penafsiran tersebut karena penafsiran
tersebut tidak menimbulkan kontradiksi.
3. Perbedaan
lafazh dan makna, sedangkan ayat tersebut tidak mungkin dimaknai dengan kedua
makna tersebut secara bersama-sama, karena saling berlawanan, jadi ayat
tersebut harus dimaknai dengan makna yang lebih kuat dari keduanya, dengan
dasar kesesuaian makna ayat atau yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam surat al-baqarah ayat ;
173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah . Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Abbas mengatakan tidak menginginkan bangkai dan tidak pula melampaui
batas dalam memakannya, sementara pendapat lain mengatakan bahwa tidak keluar
memberontak kepada imam dan tidak bermaksiat dalam perjalanannya,
Pendapat yang
rajih dari kedua
pendapat ini adalah pendapat yang pertama, karena tidak ada dalil untuk
pendapat yang kedua dalam ayat tersebut, karena maksud apa yang dihalalkan
dalam ayat tersebut adalah dalam hal keadaan terpaksa.
Sementara keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur ini menurut Quraisy Syihab
menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an, kemudian memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya, dan mengikat
mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam
subjektivitas yang berlebihan.
Selain itu juga menurut Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengatakan bahwa
metode dengan tafsir bi al-ma’tsur ini apabila ditinjau dari sudut informasi
kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat
itu, sampai-sampai ada di antara yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa
melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai tafsir ini, seperti
periwayatan tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai
dasar yang kokoh.
E.
Penutup
Dari pemaparan yang telah disebutkan diatas dapatlah diambil suatu
kesimpulan bahwa tafsir bi al-ma’tsur
dapat klasifikasikan kepada 4 (empat) bentuk penafsiran, yaitu :
- Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
- Penafsiran al-qur’an dengan hadits
- Penafsiran al-qur’an dengan perkataan sahabat
- Penafsiran al-qur’an dengan dengan perkataan tabi’in
Kemudian penafsiran dengan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dinilai penafsiran
yang paling tinggi, kemudian dengan hadits apabila hadits tersebut dapat
diketahui akan keshahihannya, karena banyak hadits yang ditolak para ulama
karena kelemahan dari perawinya, selain itu dengan perkataan sahabat dan tabi’in, sebahagian ulama tidak
memasukkan kedua kategori tersebut ke dalam tafsir
bi al-ma’tsur, karena tafsir sahabat menurut seabagian pendapat sama saja
dengan para mujtahid pada umumnya dalam nerijtihad apalagi para tabi’in karena
mereka bukanlah termasuk orang yang mengetahui langsung tafsir tersebut dari
segi turunnya atau penjelasan-penjelasan yang langsung diberikan oleh nabi.
Keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki dari tafsir bi al-ma’tsur bukan berarti corak tersebut merupakan
alternatif terbaik untuk situasi kekinian. Untuk beberapa periode pasca Nabi
SAW (hingga tabi’in), barangkali corak itu memang merupakan satu-satunya
alternatif mengingat jarak antara generasi mereka dan generasi tabi’in masih cukup
dekat dan laju perubahan sosial perkembangan ilmu pun belum sepesat sekarang
ini.
Perbedaan yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja menyebabkan
sebahagian sosio-kultural hasil
penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan kekinian Yng dihadapi. Ini
bertolak dari asumsi bahwa penafsiran Al-Qur’an pada dasarnya adalah usaha
mufassir pada sekat tertentu untuk menawab persoalan yang dihadapi.
Denffer,
Ahmad Von. Ulum Al-Qur’an; An Introduction To The Science Of The
Qur’an. Kuala Lumpur:
Islamic Fondation, 1983
Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Ikhtisar
Ulumul Qur’an Praktis, terj. M. Qodirun Nur Jakarta: Pustaka Amani, 2001
Ash Shiddieqy, M. Hashbi. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir.
Jakarta: Bulan
Bintang, 1992
Syihab, M. Quraisy. Membumikan al-Qur’an. Bandung:
Mizan, 1996
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat
fi Ushul al-Fiqh as-Syar’iyah. Beirut:
Dar al-Ma’arif, 1997
Az-Zarkasyi,
Badr al-Din. Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an.
Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiah, 1988