Selasa, 03 Juli 2012

KESAKSIAN WANITA DALAM KASUS PIDANA


KESAKSIAN WANITA DALAM KASUS PIDANA



A.       Pendahuluan
Islam datang tatkala kebanyakan manusia mengingkari kemanusiaan wanita dan sebagian yang lain meragukannya. Ada pula yang mengakui akan kemanusiaannya, tetapi mereka menganggap wanita itu sebagai makhluk yang diciptakan semata-mata untuk melayani kaum laki-laki.
Maka merupakan 'izzah dan kemuliaan Islam, karena dia telah memuliakan wanita dan menegaskan eksistensi kemanusiaannya serta kelayakannya untuk menerima taklif (tugas) dan tanggung jawab, pembalasan, dan berhak pula masuk surga. Islam menghargai wanita sebagai manusia yang terhormat. Sebagaimana kaum laki-laki, wanita juga mempunyai hak-hak kemanusiaan, karena keduanya berasal dari satu ayah (bapak) yaitu Adam, dan satu ibu yaitu Hawwa.
Namun ketika Islam dianggap sebagai agama yang menghargai eksistensi seorang wanita, dilain pihak ada beberapa kasus yang membuat pertanyaan di tengah-tengah umat, seperti ketika diragukannya kapasitas seorang wanita dalam persaksian. Dalam kasus pidana khususnya hudud dan qisas persaksian wanita ditolak begitu saja oleh banyak ulama.
Kesaksian perempuan yang dipahami separuh dari kesaksian laki-laki menjadi diskusi hangat di kalangan ulama. Bisa jadi itu karena perempuan masih dianggap sebagai manusia di bawah laki-laki (kualitasnya). Mengapa demikian, benarkah persaksian wanita lebih rendah dari seorang laki-laki.
Untuk itulah disini pemakalah akan membahas persoalan tersebut kedalam beberapa sub bab. Bab pertama adalah pendahuluan, Pemahaman mengenai hubungan antara laki-laki dan wanita, Kesaksian (syahadah) laki-laki dan wanita, Kesaksian wanita dalam hukum pidana, dan penutup.


B.       Pemahaman Mengenai Hubungan Antara Laki-Laki dan Wanita
Manusia merupakan makhluk yang paling mulia bila dibandingkan dengan makhluk lain di mukabumi ini, sebagaimana yangh telah difirmankan Allah dalam al-Qur’an surah at-Tin ayat 4
لقد خلقنا الانسان في احسن تقويم
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam entuk yang sebak-baiknya”.
Perbedaan manusia dengan makhluk lainnya adalah dengan diberikannya kelebihan dengan adanya akal yang berfungsi untuk berfikir dan mengkaji apa yang diciptakan oleh Alah swt. selain itu juga manusia di mukabumi ini diberi mandat untuk menjadi khalifah (pemimpin).
Manusia dalam penciptaannya dibuat dengan berpasang-pasangan. Adam dan hawwa merupakan pasangan manusia pertama yang diciptakan, kemudian dari mereka melahirkan generasi-generasi berikutnya.
Dalam penciptaan manusia melahirkan perbedaan-perbedaan kodrati yaitu perbedaan dari segi biologis yang pada akhirnya mengakibatkan perbedaan tugas (hak dan kewajiban), hal ini diakibatkan karena adanya kelebihan dan kekurangan yang yang ada di kedua belah pihak. Perbedaan ini merupakan kekurangan yang bisa saja mengarah kepada ketimpangan dan ketidak seimbangan yang satu dengan yang lainnya, sehingga kadang-kadang dapat mendiskriminasikan antara laki-laki dengan wanita. Sebut saja ketika wanita sedang mengandung yang melewatkan masa yang panjang hingga proses menyusui, begitu juga ketika menstruasi yang dapat mendatangkan efek fsikologis bagi seorang wanita yang mengalaminya.[1]
Kesemua itu dapat membuat wanita tidak sanggup baik fisik maupun mental untuk mengemban tanggung jawab dalam setiap aktifitasnya. Hal inilah yang secara alami membuat wanita beristirahat dirumah dan menghentikan pekerjaan-pekerjaannya di luar rumah, karenahal tersebut di atas mengarah kepada kelemahan fisik, kegelisahan dan kelelahan mental bagi seorang wanita.[2]
Hal tersebut kemungkinan disebabkan adanya perbedaan halangan-halangan yang bersifat alami pada diri wanita yang berakibat seolah-olah wanita kekurangan agama, dan juga menjadikan kelelahan mental dan kegelisahan wanita yang berakibat seorang wanita lebih mementingkan perasaannya. Hal ini pulalah yang membuat pemahaman sebagian besar masyarakat bahwa posisi pria sangat unggul.
Ada banyak teori yang dikemukakan kenapa laki-laki lebih unggul dari wanita. Penganut teori nature mengatakan bahwa laki-laki memang lebih unggul dari perempuan secara alami. Sedangkan penganut teori nurture melihat bahwa perbedaan ini disebabkan oleh proses social. Pendapat kedua ini beranggapan bahwa superioritas laki-laki tidak mutlak sebagaimana yang dipahami penganut teori pertama. Teori nurture mengakui bahwa apabila status social perempuan lebih baik dari laki-laki eperti perempuan bias dianggap lebih unggul dari laki-laki.
Akan tetap bila dilihat tentang asal usul kejadian manusia, laki-laki dan wanita tidak dapat dibedakan, karena manusia diciptakan dari tanah. Jadi kalau dilihat dari segi kejadian maka tidak perlu menyatakan bahwa status laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
Kemudian dari segi tugasnya dibumi dan  laki-laki dan wanita mempunya tugas yang sama, sebagaimana yang telah termaktub dalam al-Qur’an surah at-Taubah: 71, yang artinya “dan orang-orang yang beriman, lai-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang  ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi maha Bijaksana.”.

C.       Kesaksian (Syahadah) Laki-Laki dan Wanita
Dalam Ensiklopedi Indonesia, saksi selalu didefinisikan sebagai seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indera mereka (misalnya penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian. Seorang saksi yang melihat suatu kejadian secara langsung dikenal juga sebagai saksi mata. Saksi sering dipanggil ke pengadilan untuk memberikan kesaksiannya dalam suatu proses peradilan.
Definisi saksi juga tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang No 8 Tahun 1981 dalam Pasal 1 angka 35 KUHAP. Dinyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Ketentuan tersebut secara spesifik kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 1 angka 1. Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang itu, dinyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, Nan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Sementara itu hak-hak saksi dalam KUHAP dikatakan:
  1. Hak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa pada saat saksi diperiksa (pasal 173 KUHAP)
  2. Hak untuk mendapatkan penterjemah atas saksi yang tidak paham bahasa indonesia (pasal 177 ayat 1      KUHAP)
  3. Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan penerjemah (pasal 178 ayat 1      KUHAP)

  1. Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambat-lambatnya 3 hari sebelum menghadiri sidang (pasal 227 ayat 1 KUHAP)
  2. Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan (pasal 229 ayat 1 KUHAP).
Dalam penjelasan di atas, saksi selalu terkait dengan suatu peristiwa atau kejadian hukum dan berhubungan dengan peradilan dalam konteks penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Saksi dalam pengertian itu juga harus mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri. Ketentuan KUHAP dan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak pernah mempermasalahkan jenis kelamin, agama, status, suku, dan golongan dari seseorang yang menjadi saksi. Kualitas saksi dilihat dari kebenaran keterangan yang diungkapkannya di bawah sumpah di depan pengadilan.  
Dalam hal persaksian hampir semua pandangan dan juga buku-buku yang memegangi pendapat bahwa persaksian laki-laki separuh kesaksian perempuan, hal ini mendasarkan pada teks ayat Alquran Surat al-Baqarah ayat 282 

gƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ/Bpan> $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang  ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (mendiktekan apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridlai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. “ (QS. al-Baqarah, 2: 282).

Ayat ini adalah dalil (argumen) bagi keharusan tertib administrasi dan kesaksian. Sesuatu yang dianggap penting dalam manajemen modern. Ayat ini sangat rinci menjelaskan tentang pentingnya pencatatan dalam mu’amalah (muamalat) yang tidak tunai, dan keharusan adanya pencatatan administratif dan saksi dalam peristiwa tersebut, sehingga jika timbul perselisihan yang berkaitan dengan muamalat, maka segera dapat diselesaikan dengan bukti-bukti dan kesaksian yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam ayat ini, Allah swt. memerintahkan kepada orang beriman agar melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah setiap melakukan perjanjian perserikatan yang tidak tunai, yaitu melengkapinya dengan alat-alat bukti sehingga dapat dijadikan dasar untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul di kemudian hari. Pembuktian itu ialah bukti tertulis dan saksi.
Tugas juru tulis itu ialah menuliskan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh pihak-pihak yang berjanji. Caranya ialah pihak yang berhutang mendiktekan kepada juru tulis tentang sesuatu yang telah dipinjamnya, cara, dan pelaksanaan perjanjian. Tujuannya agar yang ditulis itu merupakan pengakuan dari pihak yang berhutang, karena dengan tulisan semata-mata tanpa ada ucapan (sebagai deklarasi) yang dilakukan oleh pihak berhutang, maka yang ditulis belum dapat dijadikan sebagai dasar.
Mengenai hal tersebut, Allah memperingatkan orang-orang yang berjanji agar ia selalu menepati janjinya dengan baik. Hendaklah ia takut kepada Allah, hati-hati terhadap janji yang telah diucapkan. Jangan sekali-kali dikurangi atau sengaja lalai dalam melaksanakannya. Hendaklah bersyukur kepada Allah yang telah melunakkan hati orang yang telah membantunya dalam kesukaran. Apabila ia bersyukur, Allah akan selalu menjaga, memelihara serta memberinya petunjuk ke jalan yang mudah dan ke jalan kebahagiaan.
Jika yang berjanji itu adalah orang yang lemah akalnya atau dia sendiri tidak mampu untuk mendiktekan, maka hak untuk mendiktekan itu pindah ke tangan wali yang bersangkutan. Hendaklah wali itu orang yang adil dan mengetahui tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan muamalat. Hendaklah para wali berhati-hati dalam melaksanakan tugas perwalian itu. Yang dimaksud dengan “orang yang lemah akalnya” ialah orang yang belum cakap memelihara dan menggunakan hartanya. Orang yang tidak sanggup mengimlakkan ialah seperti orang bisu, orang yang gagap, dan sebagainya.
Dalam perkara persaksian ini Mazhab Hanafiyyah mempertegas bahwa kesaksian perempuan bisa diterima dalam hal kelahiran, keperawanan dan kerahasiaan perempuan lain, yang tidak dapat melihat kecuali perempuan.[3]
Demikian juga dalam pandangan Mazhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah, kesaksian perempuan secara mandiri bisa diterima pada hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh laki-laki, seperti dalam hal yang terkait keperawanan, kejandaan, kelahiran, haid, persusuan, dan kerahasiaan perempuan di balik baju.[4]

D.      Kesaksian Wanita Dalam Hukum Pidana
Umumnya berbicara tentang kesaksian wanita selalu terbentur pembacaan suatu ayat atau teks agama. Namun demikian harus diakui pembacaan itu telah memberi kemajuan karena perempuan telah diakui untuk bisa menjadi saksi. Sebelumnya hal itu tidak diakui sama sekali. Itu berarti, baik Alquran, hadis, maupun teks agama lainnya telah mengisyaratkan atas pengakuan perempuan sebagai subyek hukum yang otonom (mandiri). Untuk memperoleh pemahaman yang demikian, setiap teks agama harus dibaca beserta konteksnya. Bagaimana situasi masa lalu dan masa sekarang harus dilihat bersama-sama. Surat al-Baqarah ayat 282 misalnya yang secara langsung berbicara kesaksian perempuan, tidak bisa dipahami tekstual semata. Sebab kondisi konteks saat ayat tersebut turun telah berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang. Dalam situasi masyarakat Arab saat itu, perempuan tidak terbiasa dengan urusan publik. Sedang di masa kini perempuan telah banyak berperan dalam hal mu’amalat seperti bisnis, keuangan, dan diakui di wilayah publik secara luas.
Sebagaimana pendapat mayoritas fuqaha' yang tidak menganggap sah kesaksian wanita di dalam masalah hudud dan qishash, hal itu untuk menjauhkan wanita dari interaksi dengan kekerasan dan kriminalitas serta permusuhan terhadap jiwa, harta dan kehormatan. Selain itu jika wanita ikut menyaksikan kriminalitas seringkali memejamkan kedua matanya dan lari sambil menjerit sehingga sulit untuk menjelaskan kriminalitas tersebut secara detail dan nyata. Hal ini disebabkan perasaannya tidak kuat untuk menahan dalam kondisi seperti itu.
Sementara laki-laki menurut Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmatu al-Tasyri’, laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang perempuan lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu, perempuan lebih lemah iradahnya (kehendaknya), kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah atau ia dalam keadaan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil. Lain halnya dengan laki-laki, ia sanggup, tabah, dan sabar menanggnb kesukaran, ia tidak menetapkan sesuatu urusan kecuali setelah memikirkannya dengan matang.[5]
Para ulama berselisih pendapat dalam jumlah kesaksian perempuan tanpa keberadaan laki-laki yang dipersyaratkan. Mazhab Hanafiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kesaksian seorang perempuan yang adil dapat diterima. Sementara Mazhab Malikiyyah berpendapat bahwa minimal harus ada dua orang perempuan, baru kesaksian perempuan tanpa laki-laki dapat diterima.[6]
Di sini tampak perempuan masih dipandang secara timpang, bukan sebagai subyek publik (pelaku sejarah) yang utuh, yang bisa berinteraksi dan memberikan kesaksian bukan saja berkaitan dirinya tetapi juga pada urusan publik. Perempuan masih diposisikan sebagai subordinasi dari laki-laki. Ia hanya akan menjadi utuh sebagai saksi, apabila digabung atau bersama dengan lakilaki. Ini pun tidak pada semua kasus, melainkan dibatasi pada kasus-kasus tertentu saja.
Mazhab zahiriyah, misalnya, menjelaskan bahwa kesaksian dua orang perempuan dan satu orang laki-laki (sebagai ganti jika tidak ditemukan dua orang saksi laki-laki) hanya berlaku pada hal-hal yang berhubungan dengan harta maupun bukan, seperti nikah, talak (cerai), ‘iddahhiwalah (tukar tanggungjawab, terkait hutang), wakafwakalah (mewakilkan/mempercayakan perkaranya pada orang lain), arbitrase (penengah atau melerai persengketaan), wasiathibah (pemberian), kelahiran, nasab, dan iqrar (ikrar).[7]
Demikian juga Mazhab Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah memerinci bahwa kesaksian perempuan digabung dengan laki-laki tidak dapat diterima, kecuali dalam urusan harta dan yang berkaitan dengan harta, seperti jual-beli, sewa-menyewa, hibahwasiat, gadai, dan kafalah (tanggungjwab nafkah). Dalam hal qisas, dan hudud, kesaksian hanya boleh dilakukan oleh dua orang saksi laki-laki, tidak bersama perempuan.[8] Ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya: …wa asyhiduu dzawai ‘adlin minkum (… dan persaksikanlah dua orang saksi laki-laki yang adil dari kamu) QS. al-Thalaq, 65: 2.  
Ini diperkuat oleh banyaknya ulama mengatakan bahwa dalam hal hudud dan qisas, kesaksian tidak bisa diterima kecuali minimal empat orang saksi laki-laki yang adil, merdeka, dan muslim. Ini didasarkan pada QS. al-Nur, 24: 13 dan 4, QS. al-Nisa’, Sementara Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kesaksian perempuan bersama laki-laki bisa diterima apabila ternyata jumlah perempuan lebih dari satu. Pendapat ini didasarkan pada qiyas kepada ayat 282 Surat al-Baqarah di atas, yakni dua Alasan yang dikemukakan oleh banyak ulama dalam banyak literatur tentang dua orang perempuan untuk menggantikan satu orang laki-laki dalam persaksian adalah karena perempuan dinilai daya ingatnya lemah dan sering lupa sebagaimana disinyalir dalam Surat al-Baqarah: 282: “an tadhilla ihdahuma fa tudzakkira ihdahuma al-ukhra” (supaya jika seorang saksi [perempuan] lupa, maka seorang lagi [saksi perempuan yang lain] mengingatkannya.”[9]
Oleh Mazhab Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah ditambahkan bahwa kesaksian perempuan tidak dapat diterima karena dominannya sikap lembut, terbatasnya ingatan, dan ketiadaan kekuasaan perempuan atas sesuatu. Selain pertimbangan cacatnya pemahaman perempuan, kurangnya akal, dan daya ingat mereka, juga karena perempuan tidak memiliki kemampuan dalam memerintah dan tidak diakui dalam kasus-kasus kriminal.[10]
Ini adalah tipikal pandangan ulama zaman dahulu yang memang berhadapan dengan kondisi perempuan saat itu yang hanya berhubungan dengan urusan domesik, tidak ada yang menjadi pemimpin publik, tidak ada yang keluar rumah kecuali didampingi mahramnya, tidak berpendidikan sebaik laki-laki, dan seterusnya. Kenyataan itu adalah perempuan saat menjadi korban dari sistem sosial yang masih membelenggu perempuan. Perempuan terbatasi (ataupun dibatasi) untuk belajar, bergaul dengan dunia publik, dan kondisi perempuan yang belum melakukan segala aktivitas sebagaimana yang dilakukan laki-laki. Akibatnya, kondisi perempuan yang dipahami menjadi seperti itu, sangat inferior, dan tidak diperhitungkan atau tidak dipahami utuh sebagai manusia.
Ada beberapa macam sebab yang menjadikan persaksian wanita ditolak dalam perkara hudud dan qisas
1.      Wanita kebanyakannya tidak bisa melihat kejadian pada perkara hudud dan qisas
2.     Kekurangan akal wanita
3.      Sifat lalai dan lupa
sifat pelupa pada diri wanita ini dapat dilihat pada mafhum pada surah al-Baqarah 282 yang berbunyi:
ان تضل احداهما فنتدكر احداهما اخري
“Maka apabila seorang darinya (saksi wanita) itu lupa maka yang seorang lagi akan mengingatkannya”.
Tentu saja ini bukan pandangan yang sebenarnya dan berlaku umum tentang perempuan. Namun, ini pandangan yang bersifat temporal, pandangan tentang perempuan saat itu saja. Karena dalam kenyataan sekarang, status, posisi, dan kondisi perempuan hampir tidak ada yang berbeda dengan laki-laki. Dewasa ini, sudah banyak perempuan yang berpendidikan tinggi, banyak perempuan menjadi pemimpin publik (kepala desa, camat, bupati/walikota, gubernur, kepala kepolisian, presiden, dan sebagainya), banyak perempuan yang menjadi anggota legislatif (DPR), dan banyak pula perempuan yang berprofesi sebagai hakim, jaksa, polisi, tentara, dan sopir angkutan umum, serta menjadi pedagang kecil ataupun besar di pasar-pasar. Demikian juga, sudah banyak perempuan yang menjadi kepala keluarga (single parent), menjadi guru besar (professor), menjadi penulis, menjadi muballighah atau da’iyah, dan duduk bersanding dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan hukum Islam, seperti di NU, Muhammadiyah, Majelis Ulama, dan sebagainya.
Apalagi jika pendapat-pendapat itu dikontekstualisasikan dengan fenomena sekarang, dimana perempuan telah banyak mengambil peran, baik sebagai saksi dalam urusan mu’amalatmunakahat, maupun jinayat. Untuk itulah diperlukan kajian ulang tentang posisi perempuan sebagai saksi.
Jika demikian halnya, apakah masih hendak dinyatakan dan dipertanyakan bahwa perempuan lemah, lebih banyak berperasaan dari pada berpikir, tidak rasional, dominan sikap lembutnya, ingatannya terbatas, pemahamannya cacat, tidak memiliki kemampuan untuk memerintah serta tidak diakui kesaksiannya dalam kasus-kasus penting dalam hidup, termasuk kasus kriminal? Jawabannya tentu tidak. Pemahaman ulama zaman dahulu tentu saja dipengaruhi oleh kuatnya Budaya saat itu yang kental patriarkhi.
Penyebutan dua perempuan juga bukan dimaksudkan jenis kelamin, tetapi lebih pada kualitas dan kemampuan saksi sebagaimana perempuan saat itu yang kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan transaksi keuangan. Karena fungsi kesaksian sesungguhnya tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan oleh keterlibatan yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi dan kemampuan pemahamannya dengan maksud peristiwa tersebut. Laki-laki atau perempuan tentu saja memiliki posisi yang sama untuk menjadi saksi, asalkan yang bersangkutan adil, jujur, dan memiliki pemahaman yang memadai (tidak mudah ditipu) terhadap hal yang ia persaksikan.
Ketentuan dua perempuan untuk menggantikan satu laki-laki ditetapkan karena pada masa itu pengalaman kaum perempuan dalam transaksi bisnis dan keuangan memang kurang memadai dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan saat itu memang jarang yang terjun dalam dunia bisnis dan transaksi keuangan. Mempertimbangkan kenyataan ini, sebagai bentuk advokasi terhadap perempuan saat itu, Alquran meminta apabila perempuan dijadikan saksi, maka harus didampingi oleh perempuan lain, menjadi dua orang. Sebagaimana disebutkan dalam ayat 282, kedua orang perempuan tersebut memiliki fungsi yang berbeda, satu orang bertindak sebagai saksi dan satu orang lagi bertindak sebagai pengingat apabila saksi tersebut lupa. Ini dilakukan bukan karena perempuan tidak cerdas atau lemah akalnya, melainkan karena keterbatasan pengalaman perempuan saat itu dalam dunia bisnis dan transaksi keuangan apalagi di bidang publik. Meskipun perempuan yang dihadirkan berjumlah dua, tetapi fungsi masing-masing berbeda.[11]
Karena konteks seperti itu, Syaikh Muhammad Abduh, dengan bijak mengatakan bahwa kesaksian dua perempuan itu tidak menunjukkan adanya kewajiban yang harus diikuti, tetapi sebagai anjuran saja. Alquran justru memberikan pilihan kemudahan kepada masyarakat tentang persaksian, jika tidak ada laki-laki, maka bisa juga laki-laki dan perempuan. Seandainya Alquran memang menetapkan kesaksian duaperempuan sebanding dengan satu saksi laki-laki, pastilah Alquran akan secara konsisten menyatakan hal yang sama dalam ayat-ayat tentang kesaksian lainnya[12]. Dalam kenyataannya, ayat-ayat lain tidak pernah membicarakan komposisi perimbangan jenis kelamin dalam persaksian, apalagi menetapkan bahwa kesaksian dua perempuan sebanding dengan kesaksian seorang laki-laki. Ayat-ayat lain malah lebih fokus berbicara tentang keadilan dan kejujuran dalam kesaksian, serta tidak adanya permusuhan antara saksi dan yang disaksikan.
Ada 7 (tujuh) ayat lain dalam Alquran yang menyebutkan tentang kesaksian, tetapi tidak satu pun yang menyebutkan komposisi jenis kelamin, apalagi memposisikan satu orang saksi laki-laki dapat digantikan dua orang perempuan. Pertama, QS. al-Ma’idah (5) ayat 106. Ayat ini berbicara tentang wasiat bagi orang yang hendak mati, hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi, tidak dijelaskan jenis kelamin apakah laki-laki atau perempuan. Dengan kalimat istnani dzawa ‘adlin berarti dua saksi itu bisa dua-duanya laki-laki, bisa juga dua-duanya perempuan atau satu laki-laki dan satu perempuan. Yang dipentingkan adalah adil dan dapat dipercaya. Kedua, QS. al-Ma’idah, (5) ayat 107 yang menerangkan apabila keempat saksi itu curang, maka dapat diganti dengan saksi dari kalangan ahli waris, tetapi disyaratkan dengan sumpah. Ketiga, QS. al-Nisa’, (4) ayat 15 yang menerangkan tentang 24 Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid III, h. 123, perbuatan keji harus disaksikan 4 (empat) orang saksi, juga tidak disebutkan jenis kelamin, memakai kalimat bainakum yang berarti laki-laki atau perempuan. Keempat, QS. al-Nur, (24) ayat 4 yang menerangkan mereka yang menuduh perempuan berbuat keji dan tidak dapat mendatangkan 4 (empat) saksi. Kelima, QS. al-Nur, (24) ayat 6 yang menyebutkan mereka yang menuduh istrinya berbuat keji dan tidak dapat mendatangkan 4 (empat) saksi, maka sebagai gantinya sumpah empat kali. Keenam, QS. al-Nur, (24) ayat 8 yang menerangkan istri yang dituduh berbuat keji, untuk menyatakan bahwa suaminya pembohong adalah memakai sumpah 4 (empat) kali. Ayat ini lebih jauh menerangkan bahwa seorang perempuan tidak hanya mempunyai hak untuk menjadi saksi, tetapi dapat juga membatalkan kesaksian laki-laki karena sumpah yang dilakukannya sebagai ganti saksi. Ketujuh, QS. al-Thalaq (65) ayat 2 yang menjelaskan tentang perempuan yang cerai setelah mendekati iddah-nya, apakah rujuk ataukah pisah, diperintah untuk memakai saksi dua orang yang adil dengan istilah dzaway ‘adlin minkum dan menegakkan kesaksian itu karena Allah. Kata minkum tidak menunjuk jenis kelamin, artinya boleh dua laki-laki, dua perempuan, atau satu laki-laki dan satu perempuan.
Senada dengan hal tersebut Maulana ‘Umar Ahmad ‘Usman, ahli hukum terkemuka Pakistan, dalam bukunya Fiqh al-Quran juga berargumentasi bahwa dalam banyak masalah kesaksian seorang perempuan tanpa laki-laki diterima. Dia mengutip Imam Syafi’i dalam Kitab al-Umm. Tidak ada ahli hukum manapun yang ia temui melawan pernyataan bahwa dalam masalah-masalah, seperti kelahiran anak dan masalah lain yang berkaitan dengan seksual perempuan, hanya kesaksian seorang perempuan yang diterima, sedangkan kesaksian laki-laki tidak diterima. Dia juga berpendapat bahwa dalam masalah hudud dan qishash, kesaksian seorang perempuan juga bisa diterima. Ini terjadi pada kasus pembunuhan Khalifah Ketiga, ‘Usman bin ‘Affan ra. Yang dapat menjadi saksi dalam kasus pembunuhan ini hanyalah istrinya, Na’ilah. Tidak ada seorangpun yang menyaksikan. Tidak seorang pun hadir memberikan kesaksian pada waktu pembunuhan Khalifah.[13]
Dalam konteks Indonesia, perempuan secara legal telah diakui sebagai saksi setara dengan laki-laki, baik di hadapan KUHAP maupun Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Kesaksian perempuan di Indonesia tidak saja pada hal-hal khusus yang berkaitan dengan perceraian, tetapi juga dalam kasus tindak pidana.
Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya sudah dapat diambil kesimpulan bahwa saksi perempuan diakui sama dengan saksi laki-laki. Tidak ada perbedaan di antara keduanya, perempuan berhak menjadi saksi sendiri baik itu di bidang mu’amalah maupun had dan qisas. Malah, kaum perempuan memiliki fungsi lain,yakni sebagai pengingat atau penguat. Selain itu, jika memang Alquran menetapkan kesaksian dua perempuan sebanding dengan satu saksi laki-laki, maka tentu Alquran akan menyebutkan kebolehan kesaksian empat orang perempuan apabila memang tidak ada laki-laki sama sekali yang menjadi saksi. Lagi-lagi, dalam kenyataannya tidak demikian, bahkan tidak ada satu ayat pun yang mengekuevalenkan ini. Para ulama fiqh yang berpandangan bahwa kesaksian dua orang perempuan sebanding dengan satu orang laki-laki pun tidak membolehkan empat orang perempuan bersaksi tanpa laki-laki sama sekali.

E.        Penutup
Memperbandingkan kondisi perempuan sekarang di mana banyak perempuan menjadi pemimpin publik, bahkan menjadi presiden, menjadi komisaris utama sebuah perusahaan besar, akuntan terkemuka, penghafal Alquran, dan lain-lain sebagai jawaban dari tuduhan ulama zaman dahulu bahwa perempuan daya ingatnya lemah, pelupa, tidak bisa memimpin, akal dan agamanya kurang, maka tentu saja pandangan bahwa kesaksian perempuan separuh dari laki-laki harus dikaji lebih lanjut.
Kenyataan sekarang perempuan telah setara dengan laki-laki hampir dalam segala bidang, karena perempuan juga telah memiliki akses yang hampir sama dengan laki-laki. Mengikuti perkembangan ini, maka perempuan sepatutnya disetarakan dengan laki-laki di hadapan hukum, termasuk dalam posisinya sebagai saksi dalam semua urusan, baik muamalat, munakahat, maupun jinayat khusus dibidang hudud dan qisas.


DAFTAR PUSTAKA

al-Bajuri, Ibrahim. Hasyiah al-Bajuri, t.pn: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t

al-Jurjawi, Syaikh Ali Ahmad. Hikmatu al-Tasyri’ wa Falsafatuhu. Jeddah: al-Haramain, tt. juz I

Khameri, SM. Risalah Hak Asasi ManusiaJakarta: al-Huda, 2004

Muhsin, Amina Wadud. Wanita di dalam al-QuranBandung: Penerbit Pustaka, 1994.

Ridla, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Jilid III

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-SunnahBeirut: Dar al-Kitab al‘Arabi, 1987, Jilid III

al-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad. Fath al-QadirBeirut: Dar al-Khair, 1991

al-Suyuthi, Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalal al-Din ‘Abdu al-Rahman bin Abi Bakr. Tafsir al-JalalainBeirut: Dar al-Ma’rifah, 1995

as-Syarbaini, Muhammad al-Khatib. Mugni al-MuhtajBeirut: Dar al-Fikr, 1978

Qardhawi, Yusuf . Fiqh Negara terj. Safri HalimJakarta: Rabbani Pers, 1997

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban



[1] Yusuf  Qardhawi, Fiqh Negara terj. Safri Halim (Jakarta: Rabbani Pers, 1997), h. 223
[2] Lihat SM Khameri, Risalah Hak Asasi Manusia (Jakarta: al-Huda, 2004), h. 52 kemudian Alasan-alasan yang seperti inilah yang kemudian membuat larangan terhadap wanita untuk menjadi pemimpin Ibrahim al_Bajuri mengatakan فلا تصح ولاية امرءة ولا انثي  Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri (t.pn: Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.t), h. 326 dan as-Syarbaini mengatakan فلا تولي امرءة لان النساء ناقصات عقل و دين  lihat Muhammad al-Khatib as-Syarbaini, Mugni al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 375
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al‘Arabi, 1987), Jilid III, h. 334
[4] Ibid., h.335
[5] Syaikh ‘Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmatu al-Tasyri’ wa Falsafatuhu (Jeddah: al-Haramain, tt.), juz I, h. 162-163 dan juz II, h. 154
[6] Ibid., h. 334.
[7] Ibid., h. 332
[8] Ibid., h. 333
[9] Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Khair, 1991), h. 333-334.
[10] Jalal al-Din Muhammad bin Ahmad al-Mahalli dan Jalal al-Din ‘Abdu al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1995), h. 62.

[11] Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Quran (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 115.
[12]  Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid III, h. 123
[13] Asghar Ali, Pembebasan Perempuan, terjemahan Agus Nuryatno dari The Qur’an Women and Modern Society, (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 106-107.

1 komentar: