PERUBAHAN HUKUM
- Pendahuluan
Dalam persoalan perubahan hukum ini dua hal peran hukum, dimana
dalam perannya hokum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat adanya
perubahan social (social change) dalam
hal ini hokum berperan pasif, kemudian Sejauhmana hokum berperan untuk
menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan yang terencana Hukum berperan
aktif. Disini fungsi hokum sebagai a tool of social engineering/alat
rekayasa masyarakat.
Dalam
hokum islam status hukum sudah jelas dan tegas yang dinyatakan secara eksplisit
dalam al-Qur’an dan al-Hadis, tidak akan menimbulkan pro dan kontra di kalangan
umat Islam. Akan tetapi, terhadap persoalan-persoalan baru yang belum jelas
status hukumnya dalam kedua sumber itu, menuntut para Ulama untuk memberi
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat agar hukum Islam menjadi responsif dan
dinamis yang dapat menyesuaikan diri dengan kedadaan.
Di
sinilah letak strategisnya posisi ijtihad sebagai instrumen untuk melakukan
‘social engineering’. Hukum Islam akan berperan secara nyata dan fungsional
kalau ijtihad ditempatkan secara proporsional dalam mengantisipasi dinamika
sosial dengan berbagai kompleksitas persoalan yang ditimbulkannya.
- Perubahan
Hokum Dalam Kajian Barat
- Hukum Menyesuaikan Diri Terhadap Perubahan Masyarakat
Hugo
Sinzheimer menjelaskan bahwa;
“Wanneer er tusschen recht en leven
tegenstellingen bestaan, dan komen ersteeds krachten in beweging om deze op te
fheffen. Dan begint een tijdperk, waarin nieuw recht onstaat....”[1]
Perubahan
hukum senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya kesenjangan antara
keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta hubungan-hubungan dalam masyarakat,
dengan hukum yang mengaturnya. Bagaimanapun kaidah hukum tidak mungkin kita
lepaskan dari hal-hal yang diaturnya, sehingga ketika hal-hal yang seyogianya
diaturnya tadi telah berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan
hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam pengaturannya, hal
ini sesuai dengan aliran Sociological Jurisprudence
sebagaimana yang sebutkan oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrilich, Benyamin Cardozo,
Kartoriwics, Gurvitch dan lain-lain, mereka mengatakan bahwa hokum yang baik
adalah hokum yang sesuai dengan hukujm yang hidup di dalam masyarakat.[2]
Kesenjangan yang dimaksud sebagai sumber
yang membutuhkan adanya perubahan hukum, adalah terhadap perubahan pada
kaidah-kaidah masyarakat. Sedangkan perubahan pada jenis pertama dan kedua
belum memaksa hukum untuk segera melakukan penyesuaian terhadapnya.
Dalam keadaan yang telah mendesak,
perundang-undangan memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat. Apakah ciri yang menandai adanya kesenjangan
antara hukum dan peristiwa yang seyogianya diaturnya, sehingga mendesak untuk
diadakan perubahan hukum? Ciri atau tanda itu menurut Dror
“adalah
ditandaidengan tingkah laku warga masyarakat yang tidak lagi merasakan
kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang harus
dijalankan”[3]
Jadi terdapat kesenjangan yang membedakan
antara tanggapan hukum di satu pihak dan masyarakat di pihak lain mengenai
perbuatan yang seyogianya dilakukan. Jadi “das
sollen” sudah berbeda jauh dari pada
“das sein”.
Hukum bertujuan untuk mengkordinir
aktivitas-aktivitas warga masyarakat di mana aktivitas-aktivitas itu senantiasa
berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. karena itu hukum merasa
berkewajiban turut campur secara lebih serius dan langsung dalam wujud
kaidah-kaidah hukum.
Dari
contoh kasus konkrit di atas, ternyatalah bahwa efektif atau tidaknya hukum,
tidak semata-mata ditentukan oleh peraurannya, tetapi juga dukungan dari
beberapa institusi yang berada di sekililingnya, seperti faktor manusianya,
faktor kultur hukumnya, faktor ekonomi, dan sebagainya.
Agaknya
sulit terwujud hukum yang baik dengan pelaksanaan yang baik, jika hukum itu
sekadar hasil transfer belaka, tanpa memperhitungkan faktor-faktor non hukum.
- Hukum Membawa Masyarakat Berubah (a tool of social engineering)
Kalau
dia atas yang kita bicarakan adalah bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan
perubahan masyarakat, maka kini kita akan membahas segi kedua dari persoalan
perubahan yakni bagaimana hukum menjadi faktor penggerak ke arah perubahan
masyarakat. Inilah yang biasa dinamakan : law
is a tool of social engineering.
Yang
mula-mula memperkenalkan konsep hukum sebagai alat rekayasasosial adalah Roscoe
Pound, Bapak Ilmu Hukum Sosiologis dalam tulisannya: Scope and Purposes of Sociological Jurisprudence, yang mengemukakan butir-butir penting yang harus diketahui dan
diterapkan oleh seorang juris yang berfaham sosiologis.
Meskipun kenyataan positif dari hasil
digunaknnya hukujm sebagai “a tool of
social engineering” telah banyak diakui baik dari kalangan hukum sendiri
maupun dari kalangan ilmu-ilmu sosial, namun tetap masih ada segelintir pakar
yang tidak mau mengakui fungsi perekayasaan hukum ini. Seperti yang dikemukakan
oleh sebagaimana diuraikan oleh satjipto
Rahardjo. ” Bahwa penemuan di bidang teknologi merupakan penggerak perubahan
sosial, sebab penemuan yang demikian itu menyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan yang berantai sifatnya.[4]
Sifat
yang terakhir disebut ini bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama terjadi suatu penemuan baru di bidang teknologi. Di tempat kedua menyusullah kegiatan ekonomi. Di sini orang mulai
memikirkan pemanfaatan ekonomis apa yang dapat dipetik dari penemuan itu. Baru kemudian hukum masuk, apabila kedua
kegiatan yang disebutkan di atas telah dijalankan. Dengan demikian hukum
diterima sebagai struktur atas yang mempunyai basisnya pada bidang teknologi
dan ekonomi yang oleh karena itu hanyalah merupakan kelanjutan dari
kejadian-kejadian pada bidang tersebut”
Tentu
hal ini dapat diterima jika dikatakan bahwa hukum hanyalah alat yang
menggerakkan perubahan secara tidak langsung. Contohnya, pertumbuhan penduduk
yang sudah tiba pada tingkat yang membahayakan, tidak dapat ditekan secara
langsung oleh hukum. Dalam hal ini, adalah mustahil jika hukum mengeluarkan
peraturan untuk membunuh sebagian penduduk agar pertumbuhan penduduk teratasi.
Hukum di sini hanya mungkin menekan pertambahan penduduk secara tidak langsung
melalui ketentuan tentang jumlah anak yang ditanggung negara bagi pegawai
negeri dan ABRI serta perturan-peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan
program Keluarga Berencana.
- Faktor-Faktor Pengubah Hukum
Perubahan
hokum dapat disebabkan beberapa aspek yaitu : Aspek politik yang dapat
dipengaruhi oleh penguasa,orsospol, ormas, LSM. Kemudian aspek budaya yang bisa
disebabkan perubahan nilai dalam masyarakat, stratifikasi atau juga disebabkan
adanhya kontak budaya. paktor pengubah hokum juga dapat disebabkan aspek
ekonomi, seperti perdagangan bebas, perjanjian ekonomi, arbitrase, traktat dan
lain-lain. Kemudian aspek ilmu pengetauan dan teknologi dengan berobahnya
gaya hidup,
kejahatan tingkat tinggi. Juga dapat disebabkan aspek pendidikan
Sementara cara pengubah hukum adalah
-
Fiction seperti pembuatan
defenisi atau rekayasa
-
Equity atau kesetaraan
-
Legislation atau berdasarkan
penetapan hukum
- Perubahan
Hokum Dalam Perspektif Hokum Islam
Dalam
kajian hokum Islam pengaruh-pengaruh unsur perubahan dapat menimbulkan
perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya
pembaruan hukum Islam. Pada dasarnya pembaruan pemikiran hukum Islam hanya
mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas ajaran Islam, tanpa mengabaikan
aspek universalitas dan keabadian hukum Islam itu sendiri. Tanpa adanya upaya
pembaruan hukum Islam akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam
memasyarakatkan hukum Islam khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.[5]
Mengingat
hukum Islam merupakan salah satu bagian ajaran agama yang penting, maka perlu
ditegaskan aspek mana yang mengalami perubahan (wilayah ijtihadiyah). Disini
dapat ditegaskan bahwa agama dalam
pengertiannya sebagai wahyu Tuhan tidak berubah, tetapi pemikiran manusia
tentang ajarannya, terutama dalam hubungannya dengan penerapan di dalam dan di tengah-tengah masyarakat, mungkin berubah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perubahan dimaksud bukanlah perubahan
secara tekstual, tetapi secara kontekstual.
Perkembangan
dunia yang semakin maju disertai dengan era globalisasi dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam beberapa bidang kehidupan
masyarakat, seperti medis, hukum, sosial serta ekonomi telah membawa pengaruh
yang besar, termasuk persoalan-persoalan hukum.[6]
Masyarakat Islam sebagai suatu bagian yang tidak terpisahkan dari dunia, tidak
dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang menyangkut kedudukan hukum
suatu persoalan.
Masyarakat
dengan berbagai dinamika yang ada menuntut adanya perubahan sosial, dan setiap
perubahan sosial pada umumnya meniscayakan adanya perubahan sistem nilai dan
hukum. Marx Weber dan Emile Durkheim menyatakan bahwa “hukum merupakan refleksi
dari solidaritas yang ada dalam masyarakat”. Senada dengan Marx Weber dan
Durkheim, Arnold M. Rose mengemukakan teori umum tentang perubahan sosial
hubungannya dengan perubahan hukum. Menurutnya, perubahan hukum itu akan
dipengaruhi oleh tiga faktor; pertama, adanya komulasi progresif dari
penemuan-penemuan di bidang teknologi; kedua, adanya kontak atau konflik
antarkehidupan masyarakat; dan ketiga, adanya gerakan sosial (social movement).[7]
Menurut teori-teori di atas, jelaslah bahwa hukum lebih merupakan akibat dari
pada faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial.
Pengaruh-pengaruh
unsur perubahan di atas dapat menimbulkan perubahan-perubahan sosial dalam
sistem pemikiran Islam, termasuk di dalamnya pembaruan hukum Islam.
Pada dasarnya
pembaruan pemikiran hukum Islam hanya mengangkat aspek lokalitas dan temporalitas
ajaran Islam, tanpa mengabaikan aspek universalitas dan keabadian hukum Islam
itu sendiri. Namun pada kenyataannya tanpa adanya upaya pembaruan hukum Islam
akan menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam memasyarakatkan hukum Islam
khususnya dan ajaran Islam pada umumnya.3
Untuk
mengawal hukum Islam tetap dinamis, responsif dan punya adaptabilitas yang
tinggi terhadap tuntutan perubahan, adalah dengan cara menghidupkan dan
menggairahkan kembali semangat berijtihad di kalangan umat Islam. Pada posisi
ini ijtihad merupakan metode bagi lahirnya perubahan untuk mengawal cita-cita
universalitas Islam sebagai sistem ajaran yang shalihun li kulli zaman wal makan.
Umat
Islam menyadari sepenuhnya bahwa sumber-sumber hukum normatif–tekstual
sangatlah terbatas jumlahnya, sementara kasus-kasus baru di bidang hukum tidak
terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid
menyatakan bahwa: “Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat tidak terbatas
jumlahnya, sementara jumlah nash (baik al-Qur’an dan al-Hadis), jumlahnya
terbatas. Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang terbatas jumlahnyabisa
menghadapi sesuatu yang tidak terbatas.[8]
Semangat
atau pesan moral yang bisa kita pahami dari pernyataan Ibnu Rusyd di atas
adalah anjuran untuk melakukan ijtihad terhadap kasus-kasus hukum baru yang
tidak secara eksplisit dijelaskan sumber hukumnya dalam nash. Dengan demikian,
Ijtihad merupakan satu-satunya jalan untuk mendinamisir ajaran Islam sesuai
dengan tuntutan perubahan zaman dengan berbagai kompleksitas persoalannya yang
memasuki seluruh dimensi kehidupan manusia.
Islam
meyakini perubahan sebagai suatu realitas yang tidak bisa diingkari. Islam juga
memberi posisi yang paling tepat demi memudahkan semua hal untuk berubah secara
shahih dan aman. Agama berjalan bersama beriringan dengan lajunya kehidupan.
Tugas agama adalah mengawal perubahan secara benar untuk kemaslahatan hidup
manusia.9 Di sinilah sesungguhnya tugas seorang cendekiawan muslim untuk
merumuskan pendekatan dan metodologi yang tepat sesuai dengan konteks yang
melingkupinya agar agama menjadi fungsional dan bisa membumi.
Dalam
hukum Islam, perubahan sosial budaya dan letak geografis menjadi variabel
penting yang ikut mempengaruhi adanya perubahan hukum. Ibnu Qayyim al-Jauziyah
menyatakan bahwa “perubahan hukum adalah dikarenakan perubahan zaman, tempat,
keadaan, dan kebiasaan”[9]
Dalam kaidah fiqh lainnya disebutkan “hukum itu berputar bersama illatnya
(alasan hukum)dalam mewujudkan dan meniadakan hukum”[10]
Salah
satu bukti konkret betapa faktor lingkungan sosial budaya berpengaruh terhadap hukum
Islam adalah munculnya dua pendapat Imam Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim
dan qaul jadid. Pendapat lama (qaul qadim) adalah pendapat hukum Imam Syafi’i
ketika beliau berada di Mesir.[11]
Perbedaan pendapat hukum dalam masalah yang sama dari seorang Mujtahid Imam Syafi’i
jelas disebabkan faktor struktur sosial, budaya, letak geografis yang berada
antara daerah Iraq (Baghdad ) dan Mesir
Dalam
konteks historis, pemikiran bidang hukum Islam sesungguhnya memperlihatkan kekuatan
yang dinamis dan kreatif dalam mengantisipasi setiap perubahan dan
persoalan-persoalan baru. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah madzhab
hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang
sisio-kultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang. Warisan
monumental yang sampai sekarang masih memperlihatkan akurasi dan relevansinya
adalah kerangka metodologi penggalian hukum yang mereka ciptakan.
Dengan
perangkat metodologi tersebut, segala permasalahan bisa didekati dan dicari
legalitas hukumnya dengan metode qiyas, maslahah al-mursalah, istihsan,
istishab, dan ‘urf.[12]
Dalam posisi demikian, hukum Islam akan berfungsi sebagai rekayasa sosial
(social engineering) untuk melakukan perubahan dalam masyarakat
Akan
tetapi, untuk melakukan upaya pembaruan pemikiran hukum Islam bukanlah hal yang
udah, karena masyarakat banyak yang terpuaskan dengan mazhab yang mereka anut,
sehingga sulit untuk menerima pemikiran lain diluar yang diyakininya.
Oleh
karena itulah diperlukan beberapa syarat; pertama, adanya tingkat pendidikan
yang tinggi dan keterbukaan dari masyarakat muslim; kedua, hukum Islam (fiqh)
harus dipandang sebagai variasi suatu keragaman yang bersifat partikular yang
selalu dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu; ketiga, memahami faktor
sosio–kultural dan setting politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk
hukum agar dapat memahami partikularisme dari pemikiran hukum tersebut;
keempat, mengorientasikan istinbat hukum dari aspek qaulan (materi hukum)
kepada aspek manhajan (kerangka metodologis). Di samping itu, perlu juga
memahami pemikiran hukum yang tidak dibatasi sekat-sekat madzhab. Keterbatasan
alternatif yang dibingkai dengan sekat madzhab akan menghasilkan produk
pemikiran yang rigid (kaku) dan akan mempersulit upaya pembaruan hukum Islam itu sendir
Dalam Islam
juga dikenal istilah doktrin siasah, yaitu bagaimana seperngkat peraturan yang
dibuat oleh penguasa, atau juga dikarenakan kondisi sosial yang membuat berlaku
tidaknya hokum (doktrin takhayyur), kemudian perkembangan seiring dengan adanya
peristiwa baru (tatbiq), kiemudian bisa juga disebabkan adanya pembaharuan
dibidang hokum Islam (tajdid).
- Penutup
Perubahan
hokum jika dilihat dari dua persi yang berbeda yaitu persi barat dan juga hukum
Islam, sama-sama disebabkan adanya perubahan social, baik dari segi politik,
ekonomi, budaya, maupun ilmu pengetahuan, karena hokum tumbuh dalam masyarakat
maka hokum harus sesuai dengan hokum yang yang hidup dan tumbuh di dalam
masyarakaT.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Achmad. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta : Yarsif Watampone., 1996
Ali,
Zainudin, Filsafat Hukum, Jakarta :
Grafika, 2006
Arifin,
Syamsul. dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta :
Sipress, 1996
Azhar,
Muhammad, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Neomodernisme Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
Hasan, A. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung : PT al-Ma’arif, 1994
al-Jauziyah,
Ibn Qayyim, I’lam al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin. Beirut : Daar al-Fikr, TT
Muzdhar,
M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1998
Lili
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hokum, Bandung : Citra Adtya
Bakti, 2007
Rusyd,
Ibn, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Indonesia : Daar al-Kutub
al-Arabiyyah, TT
ash-Shiddiqie, Hasbi, Falsafah Hukum Islam. Jakarta : Bulan Bintang,
1993
Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta :
RajaGrafindo Persada, 1994
Soesanto,
Astrid S. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta : Binacipta,1985
Yahya,
Mukhtar dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Bandung : PT Al-Ma’arif,
1996
az-Zarqa,
Musthafa Muhammad, Hukum Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab)
Terj. Ade Dedi Rohayana. Jakarta :
Rineka Cipta, 2000
[1]
Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris
Terhadap Hukum. (Jakarta: Yarsif Watampone., 1996). H.203
[2]
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hokum, Bandung : Citra Adtya Bakti, 2007), h. 66 lihat juga
Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta :
Grafika, 2006), h. 61
[4]
Ibid, h. 215
[5] Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer
Dalam Pandangan Neomodernisme Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 59-60
[6] Musthafa Muhammad az-Zarqa, Hukum
Islam dan Perubahan Sosial (Studi Komparatif Delapan Mazhab) Terj. Ade Dedi Rohayana (Jakarta : Rineka Cipta, 2000), hal. 45
[7] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1994), hal. 96. Lihat pula, Astrid S. Soesanto, Pengantar Sosiologi
dan Perubahan Sosial (Jakarta:Binacipta,1985), hal. 157-158
[8] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa
Nihayat al-Muqtashid (Indonesia :
Daar al-Kutub al-Arabiyyah, TT),
hal. 2
[9] Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’lam
al-Muawaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin (Bairut: Daar al-Fikr, TT), hal. 14. Lihat pula, Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hal. 444
[10] Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam
(Bandung: PT Al-Ma’arif, 1996), hal. 550
[11] M. Atho’ Muzdhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara Tradisi dan Liberasi
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998),
hal. 107. Lihat pula, A. Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: PT
al-Ma’arif, 1994).
[12] Syamsul Arifin, dkk, Spiritualisasi Islam dan Peradaban Masa Depan
(Yogyakarta: Sipress, 1996), hal. 72-73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar