Senin, 23 Juli 2012

Perintah Mengerjakan Ibadah Puasa

Ketika Allah Swt menggunakan kata-kata يا أيها الذين آمنوا maka  coba kita perhatikan, biasanya sesudah kata tersebut akan ada perintah atau larangan dari Allah Swt. Hal ini dapat dilihat melalui firman Allah Swt pada surah Al-Baqarah 183 يا أيها الذين آمنوا،كتب عليكم الصيام كما كثب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون yang artinya "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa".


kata-kata يا أيها الذين آمنوا adalah sebuah panggilan, yang mana يا dalam bahasa Arab adalah harfun nida',. Panggilan dari kekasih untuk kekasihnya, panggilan dari Allah Swt sang khaliq kepada ciptaannya yaitu orang-orang yang beriman, orang-orang yang mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt, mengerjakan apa yang telah di tasdiq kan dalam hatinya dan mengerjakan apa yang diucapkannya. 


Panggilan tersebut adalah sebuah perintah untuk mengerjakan ibadah puasa, yang dapat dilihat dari kata (كتب عليكم الصيام). Kata kutiba sebenarnya bukanlah arti sebenarnya dari "diwajibkan", karena kata kutiba merupakan bentuk pasif dai kata kataba yang bermakna menulis/ dituliskan, namun demikian para ahli tafsir sepakat bahwa kata-kata kutiba adalah kata yang digunakan Allah Swt untuk memerintah/wewajibkan. 


Sebuah perintah untuk mengerjakan puasa sebagaimana yang telah Allah Swt wajibkan atas umat-umat sebelum datangnya Islam, yang tujuannya adalah untuk mencetak manusia-manusia yang sukses, yaitu manusia-manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt. Sukses bukan karena banyaknya harta yang melimpah atau jabatan yang dimiliki, sebagaimana yang disering dikatakan oleh paradigma-paradigma materi, yang menilai kesuksesan itu terletak dari semakin banyaknya kebutuhan lahir/materi yang terpenuhi. Namun kesuksesan itu adalah dikala manusia mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah Swt dan menjauhi segala larangan-larangannya.

Kamis, 19 Juli 2012

TAFSIR BI Al-MA’TSUR


TAFSIR BI Al-MA’TSUR

A.     Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan bukti kebenaran dari kenabian Muhammad SAW, selain menjadi bukti kebenaran al-Qur’an juga merupakan petunjuk dan juga sebagai jalan hidup bagi umat manusia. Al-Qur’an memiliki berbagai macam keistimewaan, dan diantaranya adalah dari segi kebahasaannya dan megandung makna-makna yang begitu mendalam.
Pemahaman terhadap redaksi-redaksi dari ayat-ayat al-Qur’an tersebut banyak tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti. Disinilah dibutuhkan penjelasan dari pemilik redaksi tersebut. Kemudian apabila dalam al-Qur’an sendiri tidak terdapat penjelasannya, maka dibutuhkanlah penjelasan dari sosok yang menjadi tempat penurunan ayat tersebut yaitu Nabi Muhamad SAW.
Apabila dari sumber kedua ini juga tidak terdapat penjelasan ayat-ayat tersebut maka sangat dibutuhkan keterangan dari para sahabat, karena merekalah orang-orang yang dekat dengan Rasul, yang mengetahui ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri baik dari segi turunnya maupun penjelasan-penjelasan yang telah diberikan Rasul kepada mereka. Apabila sumber ketiga ini juga tidak ditemukan penjelasan-penjelasan al-Qur’an tersebut maka penjelasan para tabi’in lah yang menjadi pedoman. Dan kemudian penafsiran-penafsiran dari berbagai sumber yang telah disebutkan diatas kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’tsur.
Namun demikian sumber yang terakhir ini masih menjadi perdebatan para ulama apakah termasuk kedalam tafsir bi al-ma’tsur atau tidak, karena para tabi’in ini tidak berjumpa langsung dengan Rasul, karena mereka hanya berjumpa dengan para sahabat Rasul.
Untuk mengkaji tentang tafsir bi al-ma’tsur itu sendiri, di makalah ini akan coba untuk menjelaskan tentang pengertian tafsir dan ta’wil, tafsir bi al-ma’tsur dan ragam bentuk penafsirannya, dan nilai tafsir bi al-ma’tsur menurut pandangan para ulama yang kemudian disertai dengan alasan-alasannya.


B.     Pengertian Tafsir dan Ta’wil
Kata tafsir secara etimologi diambil dari kata فسر- يفسر- تفسرا         berarti الايضاح  والبيان           [1]yang berarti penjelasan dan keterangan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Furqan; 33
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”
Sementara itu dari segi terminologi menurut Al-Zarqani :

            عام يبحث فيه عن احوال القران الكريم من حيث دلا لته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشريه [2]

“ Ilmu yang di dalamnya membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi petunjuk (dalalah)nya kepada yang dikehendaki Allah dari sekedar yang kemampuan manusia”.
Menurut Az-Zarkasyi :

علم يفهم به كتاب الله المنزل على النبيه محمد صلعم وبيان معانيه واستحزاج احكامه وحكمه[3]
 “Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad SAW dan menjelaskan makna-maknanya, serta mengeluarkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.
Menurut Ibnu Hayyan tafsir adalah:

علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرأن ومدلولا تها وأحكامها الافرادية والتركيبية ومعانيها التى تحمل عليها حالة التركيب [4]
 “Ilmu membahas mengenai cara pengucapan kata-kata al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk (dalil-dalilnya), kandungan-kandungan hukum yang tersendiri (terpisah) dan yang tersusun serta makna-maknanya yang terkandung atasnya secara tersusun baik.
Jadi tafsir adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil Al-Qur’an dan makna-maknanya sesuai dengan yang dikehendaki Allah SWT, menurut ukuran kemampuan manusia.
Sedangkan kata ta’wil secara etimologi barasal dari kata أول- يأول- تأويلا  ,yang berarti          الرجوع الى الاصل            [5](kembali ke asal). Sedangkan menurut terminologi As-Suyuti mendefenisikan ta’wil adalah:
صرف الايه الى ما تحمله من المعانى [6]
“Pemalingan ayat kepada apa yang terkandung dari dalamnya dari makna-makna”.
Sedangkan ta’wil menurut mutaakhkhirin, fuqaha’, mutakallimin dan muhadits dan para sufi sebagai mana dinukilkan Ad-Dzahabi dalam At-tafsir wa al-Mufassirun mengatakan:
صرف اللفظ عن المعنى الراجح إلى المرجوح لدليل يقترن به [7]
 “Ta’wil adalah pemalingan lafazh dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh karena dalil yang sebanding dengannya”.
Sementara menurut kalangan salaf mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara tafsir dan ta’wil, mereka mengatakan bahwa kata-kata tafsir dalam kitab-kitab tafsir nereka dengan kata-kata ta’wil[8].
Dari defenisi diatas dapat diketahui bahwa ta’wil adalah memahami lafazh-lafazh Al-Qur’an meleui pemahaman arti yang terkandung oleh lafazh tersebut, dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternative kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya.
Berdasarkan pembahasan tentang makna tafsir dan ta’wil, dan untuk mempermudah pemahaman tentang keduanya, disini akan diuraikan perbedaan antara tafsir dan ta’wil:
  1. Tafsir lebih umum dari ta’wil, kebanyakan penggunaan tafsir pada lafazh-lafazhnya, dan sementara ta’wil kebanyakan penggunaannya pada makna-maknanya.[9]
  2. Tafsir menerangkan lafazh melalui jalan riwayah, sedangkan ta’wil menerangkan lafazh melaui dengan jalan dirayah. Dengan kata lain, tafsir menerangkan makna yang tersurat sedangkan ta’wil menerangkan makna yang tersirat.
  3. Tafsir menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti, sementara ta’wil menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.
  4. Tafsir adalah apa yang telah dijelaskan di dalam kitabullah atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedangkan ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, “tafsir adalah apa yang berhubungan dengan riwayat sedang ta’wil adalah apa yang berhubungan dengan diwayah.

C.     Ragam Bentuk Penafsiran Bi al- Ma’tsur
Secara umum ada dua model dalam penafsiran al-Qur’an yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Masa penafsiran bi al-ma’tsur merupakan periode pertama dari perkembangan tafsir. Berlakunya periode ini sampai berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H [10], yang kemudian pada tahun 150 H mulailah bermunculan tafsir-tafsir bi al-ra’yi.



Dari segi pendefenisian menurut Al-Dzahabi tafsir bi al-ma’tsur adalah:

ما جاء فى القران نفسه من البيان والتفصيل لبعض آياته, وما نقل عن الرسول صلعم وما نقل عن الصحابة رضوان الله عليهم, وما نقل عن التابعين, من كل ما هو بيان وتوضيح لمراد الله تعالى من نصوص كتابه الكريم [11]
“Apa yang datang pada al-Qur’an dengan sendirinya dari penjelasan dan uraian dengan sebahagian ayatnya, dan apa yang dinukilkan dari Rasul SAW dan apa yang dinukilkan dari para shahabat keridhaan Allah SWT terhadap mereka, dan apa yang dinukilkan dari tabi’in, dari tiap-tiap sesuatu yang dianya merupakan penerangan dan penjelasan kepada maksud Allah SWT dari nash-nash kitab-Nya yang mulia.
Dari defenisi ini, dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk penafsiran bi al-ma’tsur dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
  1. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
  2. Penafsiran al-Qur’an dengan hadits
  3. Penafsiran al-Qur’an dengan perkataan shahabat, dan
  4. Penafsiran al-Qur’an dengan perkatan tabi’in.

1.      Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
Pada prinsipnya ayat-ayat al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, ia bagai mata rantai yang saling berkaitan antara satu dan yang lainnya, yang saling menjelaskan antara yang satu dengan yang lainnya (intertekstualitas). Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an adalah bentuk tafsir yang paling tertinggi. Keduanya tidak diragukan lagi dalam penerimaannya. Hal ini karena Allah SWT adalah sumber berita yang paling benar yang kemudian menjelaskannya, yang tidak mungkin tercampur perkara batil darinya.
Penjelasan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an ini dapat dilihat pada surat al-Maidah ; 3 yang berbunyi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.
 Yang mana ayat ini memberitahukan bahwa salah satu yang termasuk yang diharamkan oleh Allah SWT ialah darah. Kata-kata darah dalam ayat ini tidak menunjukkan jenis dan kadar darah tersebut. Dengan kata lain, bahwa darah apa sajapun termasuk kedalam kelompok yang diharamkan oleh Allah AWT baik sedikit maupun banyak.
Akan tetapi bila kita lihat pernyataan ayat lain yaitu surat al-An’am ayat 145 menjelaskan bahwa ada darah yang diharamkan oleh Allah SWT yaitu darah yang mengalir sebagaimana firmannya:

قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir”.
Atau dalam surat Al-Hajj; 30:

..وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Kata (إلا ما يتلى عليكم) ditafsirkan dengan surat al-maidah; 3:
 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah , daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.

2.      Penafsiran al-Qur’an dengan Hadits
Sebagaimana diketahui bahwa Hadits merupakan sebagai bayan (penjelas) dari Al-Qur’an itu sendiri, sehingga Hadits merupakan penjelas penguat, perinci, pembatas bahkan penambah dari Al-Qur’an itu sendiri. Tapi yang menjadi persoalan adalah jika Al-Qur’an yang qath’iy al-tsubut  itu dihadapkan dengan hadits yang zhanny al-wurud[12] bertentangan dengan Al-Qur’an itu sendiri. Inilah yang kemudian menjadi permasalahan tentang penafsiran Al-Qur’an dengan Hadits, tentang segi keshahihan dari hadits itu sendiri.
Penafsiran ini dapat dilihat pada surat Al-An’am; 82

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَـئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”
Nabi SAW menafsirkan lafazh الظلم   dengan الشرك
Dengan demikian, penjelasan-penjelasan Nabi Muhamad SAW, tidak dapat dipisahkan dari pemahaman maksud ayat-ayat al-Qur’an. Beliau adalah satu-satunya manusia yang mendapat wewenang penuh untuk menjelaskan al-Qur’an, penjelasan beliau dapat dipastikan kebenarannya karena beliaulah yang langsung menerima ayat tersebut dan diberi keleluasaan untuk menjelaskannya.[13]
Penafsiran al-Qur’an dengan hadits dapat dilihat bagaimana Nabi menafsirkan kata        َزِيَادَة     dalam Surat yunus; 26, dengan melihat wajah Allah Ta’ala, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim, secara jelas dari hadits Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab ibn Ujrah, dan dalam Shahih Muslim barkata; “maka disingkapkanlah hijab, maka tidaklah mereka diberi sesuatu yang lebih mereka cintai, dari pada melihat Rabb mereka Azza Wa Jalla[14], kemudian beliau membaca surat Yunus; 26:

لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلاَ يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلاَ ذِلَّةٌ أُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya . Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan . Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya”.

3.      Penafsiran al-Qur’an dengan perkataan shahabat
Apabila penafsiran dengan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan dengan hadits nabi tidak ditemui, maka dapat dengan melihat kepada perkataan para sahabat, karena merekalah yang lebih tau tentang tentang maksud ayat, hal ini disebabkan rasul sering menjelaskan kepada mereka tentang kandungan yang terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri.
Para masa shahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari nabi adalah secara musyafahat artinya dari mulut ke mulut. Demikian pula generasi berikutnya hingga sampai datang masa tadwin (pembukuan) akan ilmu-ilmu Islam, termasuk pembukuan kitab-kitab tafsir yang terjadi sekitar abad 3 H. cara penafsiran serupa inilah yang menjadi cikal bakal apa yang disebut dengan tafsir bil ma’tsur atau disebut juga dengan tafsir bil riwayah.[15]
Dengan demikian para shahabat umumnya dapat menafsirkan al-Qur’an . namun yang paling menonjol diantara mereka ada 10 (sepuluh) orang yaitu: Abu Bakar Shiddiq, Umar ibn Khaththab, Utsman ibn ‘Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Abu Musa al-Asy’ari juga Abdullah bin al-Zubair.[16]
Contoh ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh sahabat, sebagaimana yang diceritakan bahwa Umar bin Khaththab pada suatu hari barkata kepada para sahabat Nabi SAW, “pada siapa kalian ayat ini diturunkan, kemudian Umar membacakan surat Al-Baqarah 266
Šuqtƒr& öNà2ßtnr& br& šcqä3s? ¼çms9 ×p¨Yy_ `ÏiB 9@ŠÏ¯R 5>$oYôãr&ur ̍ôfs? `ÏB $ygÏFóss? ㍻yg÷RF{$#
“Apa sukakah seseorang diantara kamu mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yangmengalir dibawahnya sungai-sungai”.
Para sahabat menjawab:”Allah lebih mengetahui”. Maka Umar marah, seraya berkata:”katakan’aku tahu’ atau ‘tidak tahu’”. Kemudian Ibnu Abbas berkata dengan tenang tentang ayat itu. Lalu Umar berkata:”wahai putra saudaraku,berkatalah! Jangan kamu menghinakan dirimu”. Ibnu Abbas berkata:”ayat itu mengetengahkan contoh suatu amal”. Umar bertanya: “amal apa?”. Ibnu Abbas menjawab:”sungguh seorang lelaki berlaku taat kepada Allah, lalu ia dipermainkan setan, sehingga ia melakukan kemaksiatan dan amal-amalnya menjadi tenggelam.[17]
Namun demikian menurut sebahagian ulama tidak wajib mengambil tafsir dari sahabat karena menurut mereka para sahabat juga berijtihad dalam penafsirannya, dan seorang mujtahid bisa saja salah, dan sahabat dalam berijtihad sama saja seperti mujtahid pada umumnya.[18]

4.      Penafsiran al-Qur’an dengan perkataan Tabi’in
Adapun tafsir para tabi’in ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebahagian ulama berpendapat bahwa tafsir itu termasuk kedalam ma’tsur. Karena mereka berjumpa langsung dengan para sahabat yang lebih tahu akan turunnya ayat dan maksud-maksud ayat yan dijelaskan oleh Rasul sendiri.
Ada pula yang berpendapat bahwa tafsir dari para tabi’in sama saja dengan tafsir bi al-ra’yi. Artinya para tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan para mufassirun yang menafsirkan al-Qur’an dengan berdasarkan kaidah bahasa.[19]dengan kata lain, terkadang merekapun melakukan ijtihad dan memberi interpretasi terhadap Al-Qur’an.[20]
Al-Rumy tidak memasukkan kelompok Tabi’in dalam penjelasannya. Tidak dimasukkannya kelompok tabi’in bisa diprediksikan bahwa pendapat para tabi’in paling tidak menurut Al-Rumy tidak layak dijadika referensi dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode tafsir bi al-ma’tsur.[21]
Kelompok tabi’in yang memberikan sumbangan besar dalam penafsiran Al-Qur’an terbagi menjadi tiga, yaitu kelompok Makkah, kelompok Madinah dan kelompok Iraq, hal ini disebabkan sudah semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam.
Dikalangan tabi’in kelompok Makkah yang merupakan tokoh-tokoh besar dalam bidang tafsir seperti: Mujshid, Atha’, Ikrimah, Thawus, dan Sa’ad bin Jabir. Di kalangan kelompok Madinah adalah Muhammad bin Ka’ab al-Qardhiyyi, Abu al-‘Aliyah al-Riyahi, dan Zaid bin Aslam. Sementara kelompok ahli tafsir di Irak ada Hasan Bashri, Masruq bin al-Ajda’, Qatadah bin Du’amah, Atha’ bin Abi Muslim al-Khurasani, dan Murrah al-Hamdzani.[22]
Penafsiran tabi’in dapat dilihat bagaimana Mujahid menafsirkan surat al-qiyamah: 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”.
Mujahid berkata bahwa orang mukmin menunggu balasan/pahala dari Tuhannya, dan dia tidak melihat dari sesuatu mankhlukpun.[23]

D.    Pandangan Ulama Tentang Nilai Tafsir bi al-Ma’tsur dan Alasannya.
Imam Az-Zarqani dalam mengetengahkan uraian yang amat bagus sekitar soal tafsir bil ma’tsur, beliau menyebutkan pula beberapa pendapat yang dinukilkan dari imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Uraian yang paling tepat bahwa tafsir bi al-ma’tsur ada dua macam:
Pertama, penafsiran yang didukung oleh banyak dalil yang menunjukkan keshahihannya dan bisa diterima. Ini tidak patut bagi seorangpun untuk menolaknya, bahwa tidak boleh menyepelekannya dan melalaikannya. Tidak seyogyanya kita meragukan pertunjuk al-Qur’an. Akan tetapi justru ia merupakan alasan yang paling kuat untuk mengambil petunjuk al-Qur’an.
Kedua, penafsiran yang sama sekali tidak sah disebabkan oleh hal-hal tertentu yang melemahkannya dan ini wajib ditolak, tidak boleh menerima atau mengamalkannya. Para ahli tafsir yang jeli, seperti Ibnu Katsir tidak henti-hentinya meneliti keshahihan pendapat yang mereka nuqilkan, dan kemudian menganggapnya penafsiran yang batil dan dha’if.
Menurut kenyataan banyak diantara riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas dan Ali dan juga kepada yang lainnya adalah maudhu’. Hal ini bisa disebabkan dengan barbagai alasan, seperti ketika yang menukilkan hadits tersebut orang Syi’ah, maka pengikutnya dengan berbagai kepentingan mewadha’kan hadits tersebut atas nama beliau. Begitu juga dengan Ibnu Abbas yang merupakan kakek dari Khulafa Abbasiyyin, maka ahli wadha’ (pembuat hadits palsu) yang ingin mendekatkan diri kepada khulafa’ Abbasiyin mewadha’kan hadits atas nama Ibnu Abbas.[24]
Beberapa perawi yang menurut jumhur dapat dikatakan hadits yang baik diantaranya hadits yang melalui Mu’awiyah ibn Shalih dari Ali ibn Abiu Thalhah dari Abbas, atau riwayat Qais dari Atha’ ibn Said dari Sa’id ibn Zubair dari Ibnu Abbas, dan sanad ini banyak diambil oleh al-Hakim, kemudian riwayat Ibn Ishaq dari Muhammad ibn Abi Muhammad Maula, Zaid bin Tsabit dari Ibnu Abas yang banyak diambil Ibnu Jarir ath-Thabari dan Ibnu Abi Hakim.
Sementara itu ada juga dari para riwayat yang lemah yaitu dari hadits yang diriwayatkan Zubair dari Ad-Dhahhak, Bakr Ibn Sahl al-Dimyati, Abu Rauq, Ismail as-Saddy al-Kabir, Muqatil ibn Sulaiman (yang tertuduh dha’if) dan yang lainnya.[25]
Dengan ini nyatalah bahwa banyak jalan untuk menerima tafsir-tafsir yang dinukilkan kepada sahabat-sahabat yang tidak shahih, sehingga apabila ini masuk ke dalam tafsir maka hal ini sudah mengada-ngadakan sesuatu yang belum pasti kebenarannya.
Sementara itu untuk tafsir yang didapat dari para tabi’in terdapat pertentangan menurut Ibn Taimiyah sepandai-pandai tabi’in dalam penafsiran adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud dan ulama-ulama Madinah, seperti Zaid bin Aslam dan Imam Malik bin Anas, Mujahid. Sehingga menurut beliau ulama seperti As-Syafi’I dan Bukhari berpegang kepada hadits-hadits tersebut. Begitu juga dengan An-Nawawi mengatakan apabila kamu telah mengetahui tafsir Mujaid cukuplah bagimu tafsirnya itu.
Menurut Adz-Zahabi tafsir bi al-ma’tsur tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an maka yang demikian itu tidak ada perbedaa pada penerimaannya, karena tidak ada jalan yang melemahkannya, dan tidak ada syak kepadanya dari segi jalan penafsirannya. Sementara tafsir yang di tafsirkan dengan hadit Nabi maka yang dapat melemahkannya adalah dari segi jalan periwayatannya begitu juga sanadnya, nmaka tafsir itu ditolak, dan selamanya tidak sah di nisbahkan kepada Nabi SAW.[26]
Walaupun demikian masih menurut Adz-Zahabi tafsir bi al-ma’tsur mempunyai kelemahan, yaitu banyak terjadi pemalsuan dalam tafsir sebagaimana orang Syi’ah yang yang selalu menisbahkan suatu hadits terhadap ‘Ali bin Abi Thalib dengan berbagai maksud dibaliknya, di anatara seabab pemalsuan itu adalah panatisme mazhab dan politik, kemudian banyaknya masuk cerita-cerita isra’iliyyat, dan banyaknya hilang sanad-sanad.[27]
Sementara menurut Quraisy Syihab mengatakan bahwa penafsiran Nabi dan sahabat dapat dibagi dua kategori yaitu: la majala li al-‘aql fihi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika dan perincian ibadah, dan fi majal al-‘aql (dalam wilayah akal).
Menurut beliau pada masalah yang bukan dalam wilayah nalar, apabila nilai itu shahih, penafsiran itu dapat diterima apa adanya tanpa ada pengembangan. Sementara yang dalam wilayah penalaran, walau penafsiran itu benar, penafsiran itu harus didudukkan pada porsi yang tepat. 
Adapun pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakan termasuk bukan wilayah nalar, maka ia fi hukm al-marfu’ (bersumber dari Nabi Muhammad SAW), sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak. Menurut pendapat ini, maka tidak merupakan suatu keharusan untuk menerima tafsir bi al-ma’tsur yang la fi al-aql walaupun penafsiran itu dari Rasul.[28]
Kemudian menurut Quraisy Syihab dalam tafsir bi al-ma’tsur sering konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi keseluruhan turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uaraian nasikh/ mansukh) hamper dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
kemudian pesan pokok tidak jelas hal ini disebabkan terjerumusnya sang mufassir kedalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele[29], hal seperti ini dapat dilihat jenis-jenis perbedaan tafsir bi al-ma’tsur dari segi lafazh dan maknanya:
1.      Perbedaan dalam lafazh tapi maknanya tidak berbeda, perbedaan tersebut tidak berpengaruh terhadap makna ayat, hal ini dapat dilihat dalam surat al-isra’ : 23

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.

Ibnu Abbas berkata  bahwa maksud قضى      dalam surat tersebut adalah memerintahkan, sementara Mujahid berkata maksud dari kata قضى           adalah وصى              yang berarti wasiat, sementara itu Arabi’ bin Anas berkata; maksud dari kata  قضى  tersebut adalah اقضي            yang berarti mewajibkan. Semua tafsiran ini maknanya adalah sama, jadi perbedaan ini tidak mempengaruhi makna ayat.
2.      Perbedaan dalam lafazh makna dan lafaz, tetapi ayat tersebut dapat ditafsirkan dengan dua makna, tanpa ada kontradiksi antara keduanya, jadi ayat tersebut dapat dimaknai dan ditafsirkan dengan keduanya. Perbedaan ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-a’raf 175-176

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ. وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَـكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir

Menurut Ibn Mas’ud yang dimaksudkan pada ayat ini adalah seorang laki-laki dari bani Israil, sementara Ibnu Abbas mengatakan bahwa dia adalah seorang laki-laki dari penduduk Yaman. Dan keduanya dikonpromikan bahwa ayat tersebut bisa dimaknai dengan semua penafsiran tersebut karena penafsiran tersebut tidak menimbulkan kontradiksi.
3.   Perbedaan lafazh dan makna, sedangkan ayat tersebut tidak mungkin dimaknai dengan kedua makna tersebut secara bersama-sama, karena saling berlawanan, jadi ayat tersebut harus dimaknai dengan makna yang lebih kuat dari keduanya, dengan dasar kesesuaian makna ayat atau yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam surat al-baqarah ayat ; 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah . Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ibnu Abbas mengatakan tidak menginginkan bangkai dan tidak pula melampaui batas dalam memakannya, sementara pendapat lain mengatakan bahwa tidak keluar memberontak kepada imam dan tidak bermaksiat dalam perjalanannya,
Pendapat yang rajih dari kedua pendapat ini adalah pendapat yang pertama, karena tidak ada dalil untuk pendapat yang kedua dalam ayat tersebut, karena maksud apa yang dihalalkan dalam ayat tersebut adalah dalam hal keadaan terpaksa.[30]
Sementara keistimewaan tafsir bi al-ma’tsur ini menurut Quraisy Syihab menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an, kemudian memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya, dan mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.[31]
Selain itu juga menurut Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengatakan bahwa metode dengan tafsir bi al-ma’tsur ini apabila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai tafsir ini, seperti periwayatan tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh.[32]

E.     Penutup
Dari pemaparan yang telah disebutkan diatas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa tafsir bi al-ma’tsur dapat klasifikasikan kepada 4 (empat) bentuk penafsiran, yaitu :
  1. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
  2. Penafsiran al-qur’an dengan hadits
  3. Penafsiran al-qur’an dengan perkataan sahabat
  4. Penafsiran al-qur’an dengan dengan perkataan tabi’in
Kemudian penafsiran dengan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dinilai penafsiran yang paling tinggi, kemudian dengan hadits apabila hadits tersebut dapat diketahui akan keshahihannya, karena banyak hadits yang ditolak para ulama karena kelemahan dari perawinya, selain itu dengan perkataan sahabat dan tabi’in, sebahagian ulama tidak memasukkan kedua kategori tersebut ke dalam tafsir bi al-ma’tsur, karena tafsir sahabat menurut seabagian pendapat sama saja dengan para mujtahid pada umumnya dalam nerijtihad apalagi para tabi’in karena mereka bukanlah termasuk orang yang mengetahui langsung tafsir tersebut dari segi turunnya atau penjelasan-penjelasan yang langsung diberikan oleh nabi.
Keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki dari tafsir bi al-ma’tsur bukan berarti corak tersebut merupakan alternatif terbaik untuk situasi kekinian. Untuk beberapa periode pasca Nabi SAW (hingga tabi’in), barangkali corak itu memang merupakan satu-satunya alternatif mengingat jarak antara generasi mereka dan generasi tabi’in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial perkembangan ilmu pun belum sepesat sekarang ini.
Perbedaan yang dihadapi para mufassir sekarang tentu saja menyebabkan sebahagian sosio-kultural hasil penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan kekinian Yng dihadapi. Ini bertolak dari asumsi bahwa penafsiran Al-Qur’an pada dasarnya adalah usaha mufassir pada sekat tertentu untuk menawab persoalan yang dihadapi.
























DAFTAR PUSTAKA


Baidawi, Nashruddin. Metode Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Denffer, Ahmad Von. Ulum Al-Qur’an; An Introduction To The Science Of The Qur’an. Kuala Lumpur: Islamic Fondation, 1983

Az-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Kairo: Maktabah Wahbah, 2000

Ma’luf, Louis. Al-Munjid Fi al-Lughah wa A’lam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986

Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, T.Pn : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973

al-Rahman, Fahd ibn ‘Abd. Dirasat Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Amirul Hasan & Muhammad Halaby. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997

Ridha, M. Rasyid. Tafsir Al-Manar. Kairo: Al-Manar, 1367 H, Jilid. I

Ash-Shabuni, Muhammad Ali. Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, terj. M. Qodirun Nur Jakarta: Pustaka Amani, 2001

Ash Shiddieqy, M. Hashbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

As-Suyuti, Abd al-Rahman. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995

Syihab, M. Quraisy. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996

Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh as-Syar’iyah. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1997

Al-Utsaimin, Muhammad. Pengantar Ilmu Tafsir, terj. Ummu Ismail. Jakarta: Darus Sunnah Press, 200

Az-Zarkasyi, Badr al-Din. Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1988

Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azham. Manahil Al-Qur’an fi Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988


[1] Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi al-Lughah wa A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 583
[2] Muhammad Abd al-Azham al-Zarqani, Manahil Al-Qur’an fi Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988), h. 7
[3] Abd al-Rahman As-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h. 383, defenisi seperti ini tidak didapati pada buku Az-Zarkasyi sendiri yaitu kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, namun dari berbagai buku referensi penukilan defenisi menurut Az-Azarkasyi dapat dilihat sebagaimana yang telah dituliskan diatas.
[4] Ibid,..

[5] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (T.Pn : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, 1973), h. 50
[6] As-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, h. 381
[7] Muhammad Husain adz-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 15
[8] Menurut kalangan salaf makna tafsir dan ta’wil adalah sama, hal ini dapat dilihat bagaimana Ibnu Jarir at-Tabari dalam tafsirnya mengatakan           القول فى التأويل قوله تعالى كذا وكذا (pendapat tentang ta’wil pada perkataan Allah ta’ala begini dan begitu), dan juga                 اختلف اهل التأويل فى هذه الايه              (berbeda ahli ta’wil pada ayat ini). Lihat Ibid…
[9] Badr al-Din az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an (beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 1988), H.164
[10] M. Quraisy Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 71-72
[11] Az-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, h. 112
[12] Qath’iy al-tsubut merupakan pandangan Al-Qur’an yang ditinjau dari segi turunnya yang Qath’iy. Sementara Zhanny al-wurud pandangan mengenai Hadits yang ditinjau dari segi turunnya yang masih zhanny, apakah hadits tersebut shahih atau tidak. Pembahasan tentang Qath’iy al- tsubut dan zhanny al-wurud dapat dilihat lebih lanjut pada kitab-kitab ushul al-fiqh dan seperti Abd Al-Wahab Khalaf, Ilm Al-Ushul Al-Fiqh (Kairo: Dar al-Qalam, 1947) atau juga Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh as-Syar’iyah (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1997).
[13] M. Quraisy Syihab, Membumikan al-Qur’an, h. 127-128
[14] Muhammad al-Utsaimin, Pengantar Ilmu Tafsir, terj. Ummu Ismail (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2004), h. 51
[15] Nashruddin Baidawi, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) h. 29
[16] Ahmad Von Denffer, Ulum Al-Qur’an; An Introduction To The Science Of The Qur’an (Kuala Lumpur: Islamic Fondation, 1983) h. 128
[17] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, terj. M. Qodirun Nur (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 112
[18] Adz-Zahabi, At-TAfsir wa al-Mufassirun, h. 72
[19] As-Shabuni, Ikhtisar Ulum Al-Qur’an Praktis h. 106
[20] Adz-Zahabi, At-TAfsir wa al-Mufassirun, h. 112.
[21] Fahd ibn ‘Abd al-Rahman, Dirasat Fi ‘Ulum Al-Qur’an, terj. Amirul Hasan & Muhammad Halaby (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), h. 199
[22] Adz-Zahabi, At-TAfsir wa al-Mufassirun, h. 77-95
[23] Ibid, h. 81.
[24] M. Hashbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/ Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 215
[25] Ibid, h. 216
[26] Adz-Zahabi, At-Tafsir wa al-Mufassirun, h. 115
[27] Ibid…
[28] M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung:mizan, 1994), h. 95-96
[29] Ibid, h. 84
[30] Utsaimin, Pengantar Ilmu Tafsir, h. 56-58
[31] Shihab, Membumikan Al-Qur’an, h. 84
[32] M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar (Kairo: Al-Manar, 1367 H), Jilid. I  h. 8